Kamis, 26 Desember 2013

LAMAN SASTRA 1

Musafir Kelana
Oleh : Fuad Munajat
Entah sudah berapa bulan kutinggalkan negeri yang pernah memberikan Aku manisnya masa remaja. Kepergianku saat itu bukan untuk menjemput kebahagiaan yang menyembulkan wajahnya dari atap langit harapan. Namun justru mengubur semua kenangan yang senantiasa mengejar-ngejarku di pagi hari, siang terik, gelap malam bahkan sampai mimpiku. Kenangan pilu sesaat kebahagian akan hadir di depan mata. Sewaktu semua orang menjunjung suka dan mengenyahkan duka jauh-jauh dalam pusara bawah sadar mereka. Sesaat sebelum pelaminan terhampar, sebuah kabar dibawa Gagak hitam dari dahan pohon jati nan tinggi. Aku tersurut. Kemana sang Merpati yang biasa menghampiri? Bukankah dia yang selama ini menjadi penyambung hatiku dengan kasih pujaanku. Adakah sakit yang menyertainya? Atau sudah bosankah ia mengantar kebahagiaanku? Gagak tergagap tak bisa menjawab. Dipalingkannya kedua sayapnya isyarat akan pergi. Aku menahan sejadi-jadi. Berharap ia berbaik hati. Memberi senyum meski sekali. Selayaknya yang senantiasa dilakukan sang merpati. Gagak tegak tak berubah mimik, ia menggumam berkali-kali, bersungut-sungut sejadi-jadi, aku tak kuasa menyampaikan ini, tokh Merpati sang penerang hati pun surut enggan kemari. Hanya aku yang dicaci karena setiap datang pastilah sedih, ya berita sedih. Tunanganmu pergi tadi malam dengan kekasih hati. Aku meradang “Aku lah kekasih hatinya”, “Akulah belahan jantungnya”, “Aku lah puncak harapannya”, “Aku….. Aku…..Aku…telah dikecewakannya.”
Aku berangkat ke tanah suci bukan untuk menjalankan ritual suci. Setelah pengurusan segala persyaratan aku dipersilahkan menaiki pesawat Garuda. Tiba-tiba saja sang Garuda menegurku seakan tahu apa tujuan kepergiaanku. “Kamu tidak akan menjumpai pujaan hatimu di tanah suci”. “Tanah itu hanya untuk jiwa-jiwa berhati bersih. Bukan kotor seperti milikmu”, begitu kira-kira dia memulai pembicaraannya. Aku tak hiraukan ocehannya yang bernada mengejekku. Dia terus menerus melemparkan kecamannya, menyudutkan aku hingga ke sudut ruangan. Aku tak tahan lagi. Ku hardik dia supaya berhenti, umpat caci tak ada arti bagi jiwa yang telah hancur. Bagai mayat yang tak rasa perih walau pedang menusuk-nusuk ulu hati. Percuma saja kau tusuk hatiku. Kendalikan saja kemudimu. Berperang denganku, walaupun menang, kau bukan bak pahlawan, pahlawan hanya untuk kemenangan dengan lawan sama imbang.
Dari kejauhan kulihat negeri suci. Aku tak tahu kenapa banyak orang bilang ia suci. Adakah setiap orang di sini suci-suci, mungkinkah musafir yang datang ke sini menjadi suci setelah tinggal beberapa hari. Aku berharap demikian. Aku ingin kesucian menyucikan jiwa yang larut dalam kegamangan tak bertepi. Aku berharap ini akan jadi perjalanan yang tak sia-sia. Atau kalau mungkin kutemukan belahan jiwa.
Saudi terkenal karena kesuciannya. Padanya tegak bangunan yang amat kuat. Kuat karena sudah berusia ribuan tahun. Tegap karena berbentuk kubus. Berbadan batu, berselendang hitam. Kesuciannya terkenal ke seluruh penjuru dunia, bahkan berabad-abad lalu nenek moyangku telah menginjakkan kakinya di sini, untuk mereguk kesucian. Tanah suci, air zam-zam suci, rumah suci, masjid suci seolah tak ada nila setitikpun di negeri ini. Aku terharu. Bilakah kesucian itu menggamit tubuhku yang nista? Tiba-tiba aku dikejutkan kepakkan Elang Arab. Negeri-negeri Arab memang senantiasa disimbol dengan Elang-elangnya. Shaqr kata mereka. Aku jadi ingat pahlawan Bani Umayyah yang dengan gagah merambah Andalusia meski dikejar prajurit Bani Abbasiyah. Ksatria itu berhasil lolos dari maut bahkan mendirikan imperium Islam terbesar di Eropa, ya Aku ingat dia adalah Abdurrahman Ad-Dakhil yang dijuluki elang Quraisy (Shaqru Quraisy).
Kebasan sayap sang Elang untuk kesekian kalinya menyadarkanku. Aku terpana dengan elang itu. Wajahnya laksana Garuda yang menghantarkanku dari Cengkareng sampai ke Jeddah. Namun apakah dia saudara kandungnya? Kembarannya? Atau hanya mirip doang! Sejenak dia perkenalkan dirinya. Dengan bangga dia berucap negerinya adalah negeri besar. Kerajaannya sangat kaya raya. Di sini tidak ada orang miskin, kere, atau gelandangan. Anda masuk dalam kategori mana? Miskin, kere, atau yang ketiga? Kuberitahu ya…, cerocos Elang yang tak memberiku kesempatan bicara, bahwa penginapan di sini mahal-mahal. Makanan pun mahal-mahal. Apalagi gadis-gadisnya… ha…ha….ha…, sampai rambutmu penuh mutira putih kau tak akan mendapatkannya, ha…ha…ha… Elang itu seakan tahu segala isi hatiku, seluruh aliran darahku disumbatnya, nadi-nadiku pun sekejap membeku, tak ada ruang tuk berpikir jernih karena otakku sudah dijajahnya.
Kuteriak keras-keras. Aku jemu dengan segala perkataan-nya, dengan segala ejekannya, ejekan Elang dan saudara-saudaranya, Garuda, Gagak dan merpati. Aku berserapah mengumbar dendam. Dendam kepada pujaan hati yang membuatku patah hati, melemparkanku ke hamparan gurun pasir, kukira ada kesejukan, kesucian, ternyata hanya fatamorgana. Burung-burung itu pun sekonyong-konyong terbang di atas kepalaku. Dan terbangnya semakin riuh rendah, mendarat tepat di hadapanku. Dengan tulus mereka berujar, wahai musafir kelana sang pencari kesejukkan dan kesucian! Ketahuilah kesejukkan dan kesucian tidak akan kau temukan di mana pun, karena sesungguhnya ia ada di dekatmu, sangat dekat bahkan ia lebih dekat dari urat nadimu, carilah ia dalam dadamu, dalam ruh dan jiwamu, temukan dia kawanku! Selama burung masih berkicau, kau masih punya kesempatan!!!

LAMAN SASTRA 2

SASTRA ISLAMI;
MEMBERI KETELADANAN TANPA BERKHOTBAH
Oleh : Fuad Munajat
Sering kita temui kenyataan-kenyataan yang tidak sesuai dengan harapan. Semua kebenaran ideal hanya berada dalam pikiran kita, namun kenyataan menunjukkan kebalikan dari yang seharusnya.
Idealnya Indonesia menjadi negeri yang paling makmur, paling aman dan sekaligus paling maju. Alasannya jelas, karena agama Islam menjadi anutan mayoritas penduduk Indonesia. Kebalikannya juga ideal, ketika kita menyatakan seharusnya Indonesia tidak mencapai prestasi tertinggi di bidang korupsi, namun lagi-lagi kita menghadapi kontradiksi yang tidak berkesudahan.
Mungkin kita harus mengkreasikan cara baru yang lebih efektif daripada cara-cara konvensional yang selama ini digunakan para penganjur kebajikan. Salah satu alternative yang cukup baik, menurut saya, adalah menggalakkan sastra Islami. Kita tentu mengetahui bahwa seseorang akan lebih mudah menerima kebenaran kalau kebenaran tersebut dikemas dalam bentuk yang amat menarik.
Sebenernya sudah sejak dahulu cara tersebut digunakan, yakni pada saat walisanga menyebarkan Islam tanpa kekerasan dan menjadi begitu mengakar pada masyarakat dari berbagai lapisan. Mereka menggunakan seni, yang salah satunya adalah sastra. Mereka membuat tembang-tembang yang begitu akrab dengan tradisi lisan yang memang saat itu dominant.
Saya akan mengutip _secara bebas_ sebuah karya cerpenis terbaik Indonesia, AA Navis, yang mencoba mengkritik tingkah laku bangsa ini yang cenderung mengutamakan kesalehan individu ketimbang kesalihan social. Dalam karyanya yang monumental, Robohnya Surau Kami, AA Navis berkisah :
“Betapa tokoh Sholeh yang nota bene selalu berbuat kebajikan, taat beribadah bahkan senantiasa sholat tahajjud setiap malam, tiba-tiba terjegal jalannya menuju surga. Sholeh yang merasa diperlakukan tidak adil mengadakan protes keras dan menggalang demonstrasi sesama umat Islam yang mendapatkan nasib yang serupa. Pada akhirnya Sholeh dkk. berhasil menghadap Tuhan, lalu terjadilah dialog sebagai berikut :
Sholeh : Wahai Tuhan Kami Yang Maha Agung, segala puja dan puji bagi Engkau. Kami adalah penyembah dan pemujimu. Namun sudilah Tuhanku menjelaskan apa alasan kami dimasukkan ke dalam neraka-Mu.
Tuhan : Bukankah Kalian yang berasal dari Indonesia?
Sholeh : betul sekali Tuhan
Tuhan : Indonesia negeri yang kaya raya itu?
Sholeh : Tidak salah lagi Tuhan. Pasti Malaikat sudah salah memasukkan Kami, Sholehpun mulai berbinar.
Tuhan : Indonesia, negeri yang 3,5 abad dijajah Belanda itu?
Sholeh : Ya, tentu saja. Alangkah celaka sekali Londo keparat itu
Tuhan : Oya, kalian… tentu harus masuk neraka
Seketika Sholeh dkk. terkaget dan sambil mengusap peluh Sholeh berupaya terus mencari keadilan.
Sholeh : apa gerangan yang menyebabkan kami masuk neraka, wahai Tuhan kami?
Tuhan : Kalian kuanugerahi negeri yang subur tapi kalian tidak mampu mengelolanya. Kalian lebih mementingkan beribadah menyembahku karena kalian pikir Aku amat suka dipuji. Sementara kalian melupakan urusan dunia yang menyebabkan keturunan kalian lemah hingga dijajah. Kalian tidak patut mendapat surgaku. Masuklah ke neraka!
Jelas sekali pesan yang ingin disampaikan pengarangnya bahwa sebagai manusia kita harus mengupayakan keseimbangan antara kehidupan dunia dan akhirat. Dengan media sastra seperti itu AA Navis berupaya mengingatkan kita tanpa harus menggurui. Melalui sastra yang memuat nilai-nilai islami kita disadarkan tanpa merasa canggung. Karena kehadiran sastra dapat muncul kapan dan di mana saja tanpa suasana formil dan kaku sebagaimana event-event keagamaan yang tengah marak saat ini.

LAMAN TIMUR TENGAH (MIDLE EAST STUDIES)

ASAL MULA KONFLIK ARAB –ISRAEL
Oleh : Fuad Munajat[*]
Masalah Palestina merupakan salah satu problem yang sudah sekian lama berlangsung dan hingga kini belum mencapai titik penyelesaian yang tuntas. Rumitnya permasalahan tersebut disebabkan banyaknya pihak yang terlibat di dalamnya di samping masalah geografis Palestina yang meliputi monumen bersejarah tiga agama besar dunia Yahudi, Kristen dan Islam. Hal ini tentunya menyeret sisi emosional yang tidak terukur dalamnya.
Tulisan berikut tidak akan mengkafer semua permasalahan yang sudah tersebut di atas melainkan terbatas hanya pada asal mula konflik Arab Israel sebagai mana judul tulisan ini. Pengetahuan akan asal mula konflik Arab Israel sangat penting dalam rangka memahami konstelasi Negara-negara Timur Tengah dalam percaturan politik dan pergaulan internasional.
Di antara konflik-konflik yang mendominasi kancah sejarah abad ke-20 konflik Arab-Israel menduduki posisi yang spesial. Konflik lainnya terkadang sama kerasnya, namun sedikit di antaranya yang senantiasa melibatkan perang dalam skala besar dan memilukan sebagai mana konflik Arab-Israel (Harvey Sicherman, 1993 : 1).
Secara sederhana kita dapat menemukan bibit konflik Arab Israel pada keinginan orang Yahudi memiliki sebuah Negara setelah mengalami sekian lama hidup berdiaspora (tercerai berai). Keinginan tersebut mengerucut dalam sebuah ideology zionisme yang muncul pada akhir abad ke-19 (Siti Muti’ah Setiawati (Ed.), 2004 : 208). Akibatnya mudah ditebak yakni adanya pergesekan antara dua bangsa yang menginginkan satu wilayah One Land, Two People. Masing-masing mengaku sebagai pihak yang paling berhak atas tanah itu. Implikasinya masing-masing berupaya meraih apa yang diakui sebagai milik kelompoknya (M. Riza Sihbudi dkk., 1993 : 42). Meski antagonisme kedua belah pihak dapat dirunut sejak masa lampau, namun konflik Arab-Israel sebagaimana kita kenal praktis baru berumur seratus tahun (Harvey Sicherman, 1993 : 2).
ZIONISME
Zionisme sebagaimana kita temukan dalam penggunaan masa kini sebenarnya telah mengalami metamorfosa makna dari makna harfiah seperti terekam dalam kitab Mazmur hingga makna modernnya sebagaimana dipahami sekarang (Jakob Katz dkk., 1997 : 19). Dalam Mazmur terdapat keterangan sebagai berikut :
Di tepi sungai-sungai Babylon
Di sana kita duduk sambil menangis
Ketika kita teringat Zion (Mazmur 137 : 1)
Zionisme dalam batasan etimologi merujuk kepada kata Zion yang merupakan nama bukit tempat kompleks ibadah Yahudi di kota Yerussalem (Ensiklopedi Tematis Dunia Islam 6, 2002 : 22). Sedangkan secara terminologis zionisme pada hakikatnya tidak lain adalah cita-cita dan gerakan orang-orang Yahudi untuk mendirikan Negara bagi orang Yahudi di Palestina yang mereka anggap sebagai tanah leluhur mereka atau tanah yang dijanjikan (the Promised Land) (BPPMLN-Deplu, 1976 :5).
Gagasan zionisme dipengaruhi pandangan nasionalisme Eropa yang pada intinya berorientasi pada pendasaran Negara berasakan suatu bangsa tertentu (BPP-Deplu, 1986 :2). Pada bangsa Jerman muncul ekstremitas bangsa Arya sebagai bangsa terunggul, sedangkan pada bangsa Yahudi juga berlaku ekstremitas tersebut melalui pandangan Moses Hess tantang keberadaan bangsa Yahudi sebagai bangsa yang ditakdirkan merubah dunia dan merupakan history making people dan mempunyai kelebihan dibandingkan dengan orang Yunani dan Kristen (BPP-Deplu, 1986 : 3).
Gerakan zionisme juga merupakan reaksi terhadap gerakan anti ras Semit (Yahudi dan Arab) yang muncul di Eropa (Siti Muti’ah Setiawati (Ed.), 2004 : 208). Adian Husaini memiliki pembahasan yang cukup panjang lebar mengenai hal tersebut (Lih. Adian Husaini, 2004 : Bab III).
Tiga macam zionisme
Akhir abad ke-19 menyaksikan perkembangan zionisme yang pada umumnya diklasifikasikan ke dalam tiga kelompok yakni zionisme praktis, zionisme politik dan zionisme kultural. Kelompok pertama menganggap bahwa pembebasan yahudi dunia dapat dipengaruhi oleh penekanan pada pertanian kolektif Yahudi di Palestina. Tokoh utamanya adalah Aaron David Gordon (1856-1922).
Adapun kelompok kedua bercita-cita mendirikan sebuah Negara Yahudi yang mandiri dan tidak harus berada di tanah Palestina. Leo Pinsker dan Theodore Herzl pada awalnya berpendirian bahwa Negara Yahudi yang dicita-citakan tidak mesti berdiri di tanah Palestina, namun dapat juga di Argentina, Cyprus, Sinai dan Uganda dengan pertimbangan masih minimnya penduduk di empat Negara tersebut.
Sementara itu zionisme kelompok terakhir adalah zionisme kultural yang lebih menekankan pendekatan metafisik terhadap ide zionisme. Mereka mengedepankan pandangan-pandangan seperti superioritas ras Yahudi di atas ras-ras lainnya dan mendambakan kebangkitan kembali kultur Yahudi, penegasan identitas yahudi yang murni dan bersih dari pengaruh asing dan kebiasaan-kebiasaan diaspora. Dalam pandangan mereka proyek Palestina terutama dilihat bukan dari nilai politik atau ekonominya, tetapi sebagai pusat untuk mengembangkan budaya dan élan Yahudi (BPP-Deplu, 1986 : 4-6).
Theodore Herzl pada akhirnya berhasil mempersatukan ketiga kelompok zionis tersebut setelah pada tahun 1897 ia mengorganisir terselenggaranya Kongres Zionis Pertama di Basel, Swiss. Hal ini menandai lahirnya gerakan Zionis Internasional secara resmi (Siti Muti’ah Setiawati (Ed.), 2004 : 208).
Meski Herzl merupakan tokoh peletak dasar nasionalisme dan ideology zionisme, namun tokoh eksekutor sebenernya dari gerakan ini adalah David Ben Guorion yang justru menekankan tanah Palestina lah yang menjadi tujuan pendirian Negara bagi bangsa Yahudi (Siti Muti’ah Setiawati (Ed.), 2004 : ibid)
Zionisme dengan demikian dapat dikatakan sebagai faktor internal bangsa Yahudi yang mendorong bangsa tersebut merealisasikan gagasan nasionalisme ekstrim mereka yang pada kenyataannya berseberangan dengan kehendak bangsa lain (Arab Palestina) penduduk tempat mana dituju bangsa Yahudi.
KONSTELASI POLITIK PASCA PERANG DUNIA I
Bisa dikatakan bahwa salah satu kejadian yang sangat mempengaruhi konstelasi Palestina pada awal abad ke-20 adalah meletusnya perang dunia pertama yang terjadi antara tahun 1914-1919. Pada masa itu kekuatan dunia terbagi ke dalam dua kelompok besar, kelompok Negara yang digawangi Jerman dan Turki di satu pihak dan Inggris dan Perancis di pihak lainnya. Pada masa tersebut Palestina masih berada di bawah Turki, tetapi pihak Inggris dan Perancis berupaya melucuti kawasan imperium Turki yang pada masa itu meliputi hampir keseluruhan Timur Tengah ditambah beberapa Negara Eropa seperti Hongaria dan Bulgaria. Inggris dan Perancis bermain mata dengan Amir-amir atau penguasa setempat di berbagai Negara Timur Tengah dengan menjanjikan kemerdekaan bagi pihak yang mau bekerjasama menentang Turki. Umpamanya, pada tahun 1915, kepada syarif Hussain diberikan janji jikalau bangsa-bangsa Arab bersedia berrperang melawan Turki, dan bila pihak sekutu menang, akan diberikan suatu Negara Arab. Tertarik oleh janji tersebut pada tanggal 5 Juni 1916 Syarif Hussain melancarkan pemberontakan terhadap Turki (BPPMLN-Deplu, 1976 : 5). Perjanjian ini dikenal dengan Perjanjian McMohan-Husayn atau Husayn-McMohan Correspondence yang secara implicit mencakup janji kemerdekaan wilayah Palestina (Siti Muti’ah Setiawati (Ed.), 2004 : 209, bd. Charles D. Smith, 1992 : 47).
Di samping itu pihak sekutu secara diam-diam mengadakan perjanjian yang dikenal dengan nama perjanjian Sykes-Picot pada 1916. Inti dari perjanjian tersebut adalah kemungkinan pembagian ghanimah berupa daerah-daerah bekas jajahan Turki ke tangan Inggris dan Perancis. Inggris akan memperoleh daerah Irak dan Transyordan, sedangkan Perancis akan mengambil alih Libanon dan Siria. Sementara itu posisi Palestina justru diinternasionalisasikan (Siti Muti’ah Setiawati (Ed.), 2004 : 209).
Nampak sekali adanya inkonsistensi Inggris berkaitan dengan posisi Palestina yang di satu sisi dijanjikan kemerdekaannya (bagi bangsa Arab) di sisi lain akan diinternasionalisasikan. Nasib Palestina makin bertambah runyam ketika Inggris, melalui Mentri Luar Negrinya Arthur James Balfour, bermain mata dengan pihak Yahudi, melalui Lord Lionel Rothchild ketua zionis Inggris, mendeklarasikan pemberian national home di tanah Palestina bagi bangsa Yahudi dalam sebuah deklarasi yang dikenal dengan deklarasi Balfour (Siti Muti’ah Setiawati (Ed.), 2004 : 210). Dengan demikian hubungan Arab (Palestina) –Israel memasuki babak baru, masa yang hampir menjadikan mimpi bangsa Yahudi comes true.
DEKLARASI BALFOUR
Penting untuk ditekankan bahwa pendekatan untuk melucuti kekuatan Negara Pusat (Jerman dkk.) juga dilakukan dengan rayuan terhadap bangsa Yahudi. Hal ini dapat dimaklumi bukan dari kacamata Yahudi sebagai kekuatan kecil di Palestina, tetapi kekuatan besar Yahudi di seluruh Eropa dan Amerika yang pada saat PD I belum terlibat. Sebagaimana diketahui pusat kegiatan zionisme internasional justru berada di Jerman. Bangsa Yahudi sudah sejak lama memiliki pengaruh yang cukup besar pada bidang media dan lobi internasional akibat kehidupan diaspora yang sangat lama di samping proyeksi bangsa Yahudi nantinya diharapkan dapat menjaga kepentingan Inggris terutama di terusan Suez (Ensiklopedi Tematis Dunia Islam 6, 2002 : 23, bd. BPPMLN-Deplu, 1976 : 6).
Sebenarnya bukan hanya pihak sekutu yang menaruh perhatian terhadap posisi Yahudi yang sangat strategis, Turki dan Jerman pada Desember 1918 dan Juli 1918 juga berupaya menarik Yahudi dalam kelompoknya dengan menawarkan suatu perjanjian yang menjanjikan Palestina untuk masyarakat Yahudi Eropa, namun dapat dikatakan bahwa tawaran tersebut sudah terlambat karena sebagian besar bangsa Yahudi sudah terlebih dahulu berorientasi mendukung pihak sekutu.
Kerjasama sekutu dengan pihak Yahudi ini tergambar dengan lobi Weizmann, seorang Yahudi Inggris, yang berusaha meyakinkan Pemerintahan Inggris agar membantu gerakan zionisme , guna menarik kaum Yahudi ke dalam pihak sekutu. Sehingga pada tanggal 2 Nopember 1917 Menteri Luar Negeri Inggris, James Balfour, mengeluarka deklarasi yang terkenal dengan istilah Balfour Declaration.
Bunyi sebagian deklarasi Balfour (dalam BPP-Deplu, 1986 : 10-11) sebagai berikut :
…”His Majesty’s Government view with favour the establishment in Palestine of national home for the Jewish people, and will use best endeavours to facilitate the achievement of this object, it being clearly understood that nothing shall be done which may prejudice the civil and religious rights of existing non-Jewish communities in Palestine, or right and political status enjoyed by Jewish in any other country”…
Dengan munculnya deklarasi ini, mimpi-mimpi Yahudi seolah akan menjadi kenyataan. Lebih jauh deklarasi ini memunculkan reaksi yang sangat keras dari bangsa Arab yang melihat deklarasi tersebut sebagai ancaman bagi stabilitas
Pasca Perang Dunia I dengan kemenangan di pihak sekutu, deklarasi Balfour diterima oleh semua pihak yang mengikuti konferensi San Remo bulan April 1920. Sejak saat itu pintu imigrasi bangsa Yahudi menuju Palestina dibuka sangat lebar. Bersamaan dengan itu mengalir pula modal-modal yang pada gilirannya mempercepat transfer property berupa tanah-tanah milik bangsa Arab Palestin menjadi miliki bangsa Yahudi. Jumlah imigran tersebut mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada 1935, misalnya, jumlah imigran Yahudi asal Jerman mencapai 66.000 orang (Gerald Blake dkk., tt : 113).
Jelas sekali dampak deklarasi Balfour dan kemenangan sekutu memberikan percepatan migrasi besar-besaran bangsa Yahudi dari seluruh penjuru dunia menuju Palestina. Dengan demikian deklarasi Balfour dapat disebut sebagai fase awal bagi terwujudnya Negara Israel.
PARTISI PALESTINA MELALUI RESOLUSI PBB
Sebenernya kemenangan sekutu terhadap Turki dan Jerman tidak serta merta mewujudkan Palestina sebagai Negara merdeka bagi Israel. Hal ini terbukti dengan jarak yang cukup jauh antara kemenangan sekutu dengan proklamasi kemerdekaan Israel yang baru terealisasi pada 1948 (paling tidak ada jarak hampir tiga dekade). Penyebab utama yang menghambat proklamasi tersebut adalah penentangan pihak Arab. Penyebab lainnya adalah kebiasaan sekutu bermain mata dengan bangsa Arab karena bagi mereka dukungan bangsa Arab sangat besar pengaruhnya terutama setelah meletusnya perang Dunia II pada 1939.
Sebelum memasuki fase partisi PBB, Komite Tinggi Arab pada 1937 pernah melakukan pemogokkan besar-besaran, hingga Inggris terpaksa mengirimkan sebuah komisi penyelidik ke Palestina. Komisi mengusulkan agar Palestina dibagi menjadi tiga daerah yaitu;
1. Negara Yahudi, meliputi 1/3 wilayah Palestina, dengan penduduk 300.000 orang Yahudi dan 270.000 orang Arab;
2. Daerah mandat Inggris, yang meliputi Yalta dan Jerussalem;
3. Negara Arab disatukan dengan Trans Yordan.
Pembagian tersebut ternyata tidak diterima oleh Kongres Pan-Arab yang mewakili dunia Arab meskipun Kongres Yahudi sedunia dan Liga Bangsa-Bangsa menerimanya dengan bersyarat (DPPMLN, Deplu, 1976 : 8).
Pasca Perang Dunia II Liga Bangsa-Bangsa (LBB) berganti nama menjadi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB/ United Nations). PBB memberikan rekomendasi yang termuat dalam resolusi PBB nomor 181 (II) tertanggal 29 Nopember 1947 yang membagi wilayah Palestina menjadi :
1. Negara Palestina (untuk orang Arab Palestina)
2. Negara Israel (untuk orang Yahudi Palestina)
3. Internasionalisasi kota Yerussalem di bawah PBB (DPPMLN-Deplu, 1976 : 9)
Nampak secara sepintas resolusi tersebut merupakan upaya PBB dalam mencapai win win solution. Pada gilirannya resolusi yang berisi partisi Palestina tersebut menandai fase baru bagi pembentukkan Negara Israel sekaligus pukulan telak bagi bangsa-bangsa Arab karena keputusan tersebut dikeluarkan oleh lembaga internasional sekaliber PBB yang tentu saja memiliki pengaruh dan dampak besar bagi kelanjutan konflik di Timur Tengah.
PROKLAMASI KEMERDEKAAN ISRAEL
Jika perseteruan antara dua bangsa yakni bangsa Arab Palestina dan bangsa Yahudi dalam memperebutkan wilayah yang sama atau masalah Palestina disebut sebagai faktor utama konflik Arab-Israel, sementara rentetan peristiwa sejak perjanjian Sykes-Picot, Deklarasi Balfour hingga partisi PBB atas Palestina dianggap sebagai faktor pendukung, maka peristiwa proklamasi berdirinya Negara Israel pada 14 Mei 1948 tentu merupakan faktor pemicu meletusnya konflik yang hingga kini masih berlangsung dan entah kapan berhenti.
Sebagai kelanjutan dari terbitnya resolusi PBB nomor 181 (II) tertanggal 29 Nopember 1947 pihak Inggris, sejak resolusi tersebut bergulir, secara bertahap menarik pasukannya dari Palestina. Akibatnya suasana di Palestina sermakin mencekam.
Masing-masing pihak baik Yahudi maupun Arab Palestina melancarkan serangan silih berganti. Pihak Inggris yang secara de facto masih memegang kendali terhadap wilayah Palestina merasa kewalahan menghadapi situasi seperti itu, sehingga Inggris mengembalikan mandat lebih cepat dari tenggat waktu yang ditentukan pada tanggal 14 Mei 1948.
Situasi ini dimanfaatkan pihak Yahudi untuk memproklamasikan kemerdekaannya. Dengan demikian berdirilah Negara Israel yang diikuti pengakuan Amerika dan Uni Sovyet terhadap eksistensi Negara baru tersebut.
Peristiwa terakhir ini merupakan penyulut bom waktu yang sudah sejak lama tertanam menjadi sebuah ledakan kemarahan besar bangsa-bangsa Arab di Timur Tengah. Tidak kurang dari Suriah, Libanon, Transyordan, Irak dan Mesir memobilisasi pasukan perangnya memasuki wilayah Palestina. Meletuslah Perang Arab-Israel I pada 1948 yang berakhir dengan kekalahan absolute di pihak Negara-negara Arab.
Setidaknya pernah ada empat kali perang, tahun 1948, 1956, 1967 dan 1973, sebagai akibat adanya konflik Arab-Israel. Perang itu tidak hanya melibatkan Negara-negara Arab yang menjadi tetangga wilayah konflik, seperti Mesir, Suria, Yordania dan Libanon, tetapi juga melibatkan juga Negara yang jauh dari wilayah itu seperti Amerika Serikat dan Inggris (M. Riza Sihbudi dkk., 1993 : 42).
Perang pada 1956 disebut juga perang Suez, disebabkan rencana Nasser menasionalisasi Terusan Suez yang pada waktu itu berada dibawah kendali perusahaan merger Inggris dan Perancis yakni Anglo-French Suez Canal Company. Pada perang ini pihak Israel mendompleng kekuatan Inggris dan Perancis dan pada akhirnya tidak merubah peta wilayah Israel.
Namun akibat dari perang 1956 adalah penempatan pasukan perdamaian PBB di semenanjung Sinai yang tentu saja membuat gerah kedua Negara yang berbatasan yakni Mesir dan Israel. Suasana ini menimbulkan ketergangan ditambah upaya pengusiran pasukan PBB di Sinai oleh Mesir serta pembentukan Unified Arab Command yang pada gilirannya menyebabkab Israel mengadakan upaya pre-emptive strikes terhadap Mesir, Siria, Yordania dan Irak pada selama 6 hari hingga tanggal 5 Juni 1967 (Siti Muti’ah Setiawati (Ed.), 2004 : 213-215). Dalam beberapa hari perang Israel mampu menduduki wilayah dua kali lebih besar dari wilayah Israel, yakni seluruh semenanjung Sinai sampai ke Terusan suez, Jalur Gaza, seluruh West Bank yang sebelumnya berada di bawah Yordan, Dataran Tinggi Golan milik Suriah, Kepulauan Tiran dan Sonafir milik Saudi (BPP-Deplu, 1986 : 76).
Adapun perang 1973 bertepatan dengan hari Yom Kippur atau hari penebusan dosa bagi orang Yahudi selain juga bertepatan dengan bulan Ramadan. Perang tersebut tidak membawa konsekuensi apapun pada peta wilayah Yahudi pasca perluasan 1967.
Masih ada beberapa perang yang terjadi pasca 1973, namun tulisan ini perlu diakhiri pada titik ini karena akan terlalu luas. Apalagi bila kita mempertimbangkan kontinuitas konflik yang masih berlangsung hingga detik ini.
Epilog
Berdasarkan uraian sederhana di atas, kiranya tampak jelas betapa rumitnya persoalan Palestina. Nampak betapa pengaruh eksternal sudah sejak dini terlibat dimulai dari masuknya Inggris sebagai pemegang mandate, pembagian (partisi) wilayah oleh PBB, peran negara-negara Arab di sekelilingnya, hingga pengaruh Uni soviet dan Amerika. Bahkan belakangan Uni Eropa mengambil andil sebagai penyeimbang kekuatan Amerika saat ini.
Berlarut-larutnya masalah Palestina tidak hanya disebabkan faktor eksternal bangsa Arab, namun juga disebabkan pertikaian internal di antara Negara-negara Arab yang pada gilirannya senantiasa bertekuk lutut di hadapan Israel.
Konsep nasionalisme yang melahirkan Negara bangsa bukan menjadi berkah tetapi menciptakan sekat-sekat primordial yang pada akhirnya mempengaruhi segala tindakan yang selalu dikalkulasi dengan untung rugi. Beberapa pangkalan militer yang bercokol di beberapa Negara Arab cukup memberi testimoni.
Pada akhirnya sikap pesimisme menyeruak ke tengah jiwa-jiwa yang hampir putus asa. Salahkah mereka? Atau Anda?

[*] Mahasiswa SPS UGM Program Studi Kajian Timur Tengah CP : 081575720604

LAMAN PBA 1

Relevansi Metode Gramatika Terjemah Pada Pengajaran Bahasa Arab Tingkat Lanjutan

Relevansi Metode Gramatika-Tarjamah
Pada Pengajaran Bahasa Arab Tingkat Lanjutan
Oleh : Fuad Munajat, S. S.
Abstrak
Pengajaran bahasa Arab di tingkat lanjutan terutama pada PTAI masih terkendala dengan berbagai kompleks persoalan. Output pembelajaran, dalam hal ini lulusan PTAI, masih dihinggapi kenyataan minimnya penguasaan mereka terhadap bahasa Arab yang nota bene salah satu pilar terpenting dalam rangka kajian Islam. Kompleks persoalan yang meliputi masalah orientasi pengajaran bahasa Arab dan quo vadis problem linguistik serta non-linguistik, meniscayakan perlunya peninjauan kembali berbagai unsur tersebut. Kecuali itu, metode gramatika-terjemah yang selama ini menjadi idola dalam praktek pengajaran perlu ditelusuri sisi kelemahan dan kelebihannya untuk selanjutnya mencari alternatif metode dalam pengajaran bahasa Arab
Kata kunci : metode gramatika terjemah, pengajaran bahasa Arab, tingkat lanjutan
Pendahuluan
Kemampuan bahasa Arab diakui merupakan piranti kajian Islam yang sangat penting. Akan tetapi kenyataannya kemampuan bahasa Arab mahasiswa PTAIN dan PTAIS masih sangat memprihatinkan. Hal ini dapat kita lihat pada kelemahan mereka dalam memahami dan mengkaji wacana keislaman yang mayoritas sumber aslinya berbahasa Arab (www.ditpertais.net/swara). Kelemahan penguasaan bahasa Arab sebagian besar disebabkan aspek pembelajarannya yang hingga kini diliputi berbagai problematika yang menggelayutinya.
Pengajaran bahasa Arab senantiasa dihadapkan pada berbagai situasi kompleks yang pada satu sisi membutuhkan perhatian pada bagian-bagian kompleksitas secara kasuistis tetapi di sisi lain harus dilihat secara keseluruhan. Situasi kompleks dimaksud adalah adanya berbagai aspek dalam pengajaran bahasa Arab yang harus disoroti secara bersama-sama. Di antara aspek-aspek yang mempengaruhi keberhasilan pengajaran bahasa Arab adalah aspek tujuan pengajaran bahasa Arab (orientasi), aspek problematika yang dapat dirinci menjadi problematika linguistik, problematika metodologis, dan problematika sosio kultural.
Tulisan ini hanya terfokus pada problema metodologis dan lebih khusus pada salah satu metode pengajaran yang paling banyak digunakan pada pengajaran bahasa Arab di tingkat lanjutan (baca : Perguruan tinggi) yakni metode gramatika-terjemah. Pemokusan pembahasan terhadap salah satu metode pengajaran bahasa Arab tidak serta merta mengabaikan perspektif yang lebih luas.
Hal ini karena dalam perspektif makro aspek orientasi pengajaran, kendala-kendala baik linguistik maupun non-linguistik menjadi satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Dengan demikian, dalam tulisan ini secara berturut-turut dibahas orientasi pengajaran bahasa Arab, problematika pengajaran bahasa Arab, metode gramatika-terjemahan dan alternatif metode dalam pengajaran bahasa Arab tingkat lanjutan.
Orientasi pengajaran bahasa Arab
Keberhasilan proses pembelajaran bahasa Arab ditentukan salah satunya oleh sinergitas antara orientasi pengajaran dengan kompleks variabel penentu yang lain. Pengajaran bahasa Arab pada dasarnya diorientasikan pada empat hal (Hidayat : 2001) antara lain sebagai berikut.
1. Berorientasi kepada tujuan PTAI
Khusus bagi mahasiswa S1 paling tidak diharapkan agar mampu memahami kitab-kitab Arab yang digunakan dalam tatap muka dan buku-buku maraji’ sesuai dengan jurusan dan fakultasnya masing-masing. Adapun tujuan pengajaran bahasa Arab yang bersifat umum adalah :
  1. Untuk digunakan sebagai alat komunikasi
  2. Untuk digunakan sebagai alat pembantu keahlian lain (supplementary)
  3. Untuk membina ahli bahasa Arab
  4. Untuk digunakan sebagai alat pembantu teknik (vokasional)
2. Berorientasi kepada karakteristik bahasa Arab
Sebagai salah satu rumpun bahasa semit, bahasa Arab memiliki karakteristik yang sangat berbeda dengan bahasa Indonesia atau bahasa-bahasa lain di luar bahasa-bahasa yang serumpun dengan bahasa Arab. Perbedaan karakter tersebut tentu saja melahirkan problem-problem dalam pengajarannya. Di antara karakteristik bahasa Arab adalah sebagai berikut :
  1. memiliki kosa kata (mufradat) yang sangat banyak disamping adanya kata-kata yang sinonim (mutaradif)
  2. memiliki sistem derivasi yang khas dan dikenal dengan istilah isytiqaq
  3. memiliki sistem i’rab (perubahan akhir kata)
  4. memiliki sistem gramatika
  5. bahasa Arab mengharuskan pemahaman terlebih dahulu sebelum membacanya (terkait dengan kemahiran membaca). Dengan kalimat lain “seseorang harus lebih dahulu mengetahui konteks sebelum membaca teks”.
3. Berorientasi kepada peserta didik
Pada umumnya mahasiswa PTAI berasal dari pesantren-pesantren atau sekolah Menengah Umum Islam (Madrasah Aliyah). Oleh karena itu sebagian besar sudah memiliki dasar pengetahuan bahasa Arab. Dalam pengajarannya tidak diperlukan lagi pemberian pengetahuan bahasa Arab dari nol. Meskipun demikian secara individual kemampuan dasar mereka berbeda-beda sehingga perlu diadakan placement test.
4. Berorientasi kepada hakikat pembelajaran bahasa
Berdasarkan empat orientasi tersebut tampak adanya pendekatan maupun metode pengajaran yang seharusnya berbeda antara satu orientasi dengan orientasi yang lainnya. Pengajaran bahasa Arab pada tingkat lanjutan juga niscaya mempertimbangkan orientasi-orientasi tersebut.
Bagi mahasiswa pada fakultas Adab orientasi pengajarannya tentu berbeda dengan mahasiswa tingkat lanjutan dari fakultas non-Adab. Sebagai ilustrasi mahasiswa fakultas Adab memiliki orientasi pembelajaran bahasa Arab untuk menjadi ahli bahasa Arab. Lain halnya dengan mahasiswa fakultas lain yang diorientasikan untuk digunakan sebagai alat pembantu keahlian lain (supplementary) atau sebagai alat pembantu teknik (vokasional).
Problematika pengajaran bahasa Arab di Indonesia
Problematika pengajaran bahasa Arab di Indonesia pada dasarnya dapat dipilah ke dalam dua kategori besar yakni problem linguistik dan problem non-lingustik yang dapat diperinci lagi menjadi problem metodologis dan problem sosiologis (Lihat Umam, 1999 : 5-11, bdk. Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga : 61-76, selanjutnya disebut Pokja).
1) Problematika linguistik
Problematika linguistik merupakan hambatan yang terjadi dalam pengajaran bahasa Arab yang disebabkan perbedaan karakteristik internal linguistik bahasa Arab itu sendiri dibandingkan dengan bahasa Indonesia. Di antara karakter universal bahasa Arab sebagaimana bahasa-bahasa yang lain adalah sebagai berikut
  1. Bahasa Arab memiliki gaya bahasa yang beragam
  2. Bahasa Arab dapat diekspresikan baik secara lisan maupun tulisan
  3. Bahasa Arab memiliki sistem, dan aturannya yang spesifik
  4. Bahasa Arab memiliki sifat yang arbitrer
  5. Bahasa Arab selalu berkembang, produktif dan kreatif
Kecuali itu, bahasa Arab juga memiliki karakteristik yang spesifik dan hanya dimilikinya. Karakter tersebut khas terdapat pada bahasa Arab di antaranya adalah
  1. Bahasa Arab memiliki sistem bunyi yang khas
  2. Bahasa Arab memiliki sistem tulisan yang khas
  3. Bahasa Arab memiliki struktur kata yang bisa berubah dan berproduksi
  4. Bahasa Arab memiliki sistem I'rab
  5. Bahasa Arab sangat menekankan konformitas antar unsurnya
  6. Bahasa Arab memiliki makna kiasan yang sangat kaya
  7. Makna kosa kata bahasa Arab sering berbeda antara makna kamus dengan makna yang dikehendaki dalam konteks kalimat tertentu
2) Problem metodologis
  1. Problem tujuan; tujuan pengajaran bahasa Arab baik pada tingkat dasar, menengah maupun lanjutan sebagaimana tercantum dalam kurikulum masing-masing biasanya mencantumkan tujuan yang kelewat ideal. Tujuan tersebut mengeksplisitkan penguasaan siswa/mahasiswa _yang ironisnya belum pernah tercapai_ terhadap empat ketrampilan dasar berbahasa
  2. Problem materi kurikulum; problem ini merupakan salah satu pendukung kegagalan tujuan pengajaran karena materi kurikulum tidak mencerminkan penjabaran dari tujuan yang ditetapkan.
  3. Problem alokasi waktu; perguruan tinggi hanya menyediakan 6 Sks bagi seluruh mahasiswa PTAI hal mana jauh dari mencukupi
  4. Problem tenaga pengajar; kualifikasi pengajar bahasa Arab di PTAI masih belum memadai. Sebagian besar diisi oleh tamatan S1 Bahasa dan Sastra Arab (BSA) atau Pendidikan Bahasa Arab (PBA) dan lulusan Timur Tengah yang sebagian besar bukan membidangi bahasa Arab meskipun ada yang memiliki core competence bahasa Arab.
  5. Problem siswa/ mahasiswa; input mahasiswa PTAI masih didominasi lulusan Madrasah Aliyah (MA) dan SMU sederajat yang masih memerlukan perhatian khusus
  6. Problem metode; metode pengajaran bahasa Arab pada dasarnya telah berkembang pesat tetapi praktik di lapangan menunjukkan belum adanya progres yang berarti.
  7. Problem media pengajaran; aspek ini masih merupakan aspek yang paling tertinggal dibandingkan negara lain.
  8. Problem evaluasi pembelajaran; penekanan pada pengukuran sisi kognitif siswa masih dominan (Lihat Pokja : 61-76).
3) Problem sosiologis
  1. Kebijakan politik bahasa pemerintah
  2. Sikap masyarakat terhadap kedudukan bahasa Arab
  3. Lingkungan sekitar.
Dengan demikian kendala-kendala ini muncul antara lain akibat perbedaan-perbedaan baik dari karakteristik bahasa asing itu sendiri maupun latar belakang budaya. Sebagai contoh ungkapan sabaqa as-sayfu al-'adzala dalam bahasa Arab tidak dapat diartikan secara harfiah sebagai 'pedang telah mendahului celaan' tetapi lebih tepat diartikan sebagai 'nasi sudah menjadi bubur'. Hal ini mengingat adanya perbedaan sosio-kultural antara bangsa Arab yang kerap melakukan perburuan atau penggunaan pedang dengan bangsa Indonesia yang tidak demikian. (Umam,1999 : 11).
Oleh karena itu dibutuhkan upaya-upaya yang cukup keras untuk memecahkan problema tersebut. Khusus di lingkungan PTAI, masih terlihat adanya kesenjangan antara tujuan (visi dan misi pengajaran bahasa Arab) dengan kenyataan di lapangan. Diakui bahwa sebagian besar mahasiswa PTAI belum memiliki kemampuan berbahasa Arab sebagaimana diharapkan.
Berbagai metode dan pendekatan dalam pengajaran bahasa Arab seperti metode terjemah-gramatika (Grammar-translation method), metode langsung (Direct method), metode mim-mem (Mim-mem method) dan pendekatan baik behavioristik, mentalistik, komunikatif pada akhirnya hanya dapat diterapkan pada kondisi dan situasi yang sesuai. Tentu saja hal ini masih ditambah dengan pertimbangan orientasi yang ingin dicapai dalam pelaksanaan pengajaran bahasa Arab tersebut.
Khusus metode gramatika-terjemah akan dibicarakan sebentar lagi karena metode ini masih digunakan secara intensif oleh lembaga-lembaga pengajaran bahasa Arab tingkat lanjutan secara umum dan perguruan tinggi secara khusus. Pembicaraan difokuskan pada hakikat metode gramatika-terjemah, kelebihan dan kelemahannya, penelusuran terhadap potensinya sehingga dapat bertahan sebagai metode yang mapan serta kemungkinan pengembangannya dalam arti penggabungannya dengan metode lain dalam memenuhi fungsinya.
Metode Gramatika-Terjemah (Thariqah Al-Qawa'id wa At-Tarjamah)
Pada dasarnya metode gramatika-terjemah merupakan metode yang menekankan pada pemahaman tata bahasa untuk mencapai ketrampilan membaca, menulis dan menerjemah (Radliyah Zaenuddin, dkk., 2005 : 37-38). Metode gramatika terjemah ini merupakan kombinasi metode gramatika dan metode terjemah (Sumardi, 1975 : 37) yakni yang memulai cara pengajaran dengan menghafal aturan-aturan tata bahasa (rule of grammar) kemudian menyusun daftar kata dan menerjemahkan kalimat demi kalimat yang terdapat dalam wacana atau bahan bacaan (Team Penyusun, 1975 : 194).
Metode ini bersandarkan pada suatu asumsi, bahwa logika semesta merupakan dasar semua bahasa di dunia dan tata bahasa, dalam pandangan metode ini, adalah bagian dari filsafat dan logika tersebut. Belajar bahasa dengan demikian dapat memperkuat kemampuan berpikir logis dan memecahkan masalah. Para peserta didik didorong untuk menghafal teks-teks klasik berbahasa asing dan terjemahannya, terutama teks yang bernilai sastra tinggi, sehingga diharapkan dapat menghasilkan output yang berbudaya tinggi dan memiliki daya intelegensia yang terlatih dalam memahami teks-teks klasik, walaupun dalam teks itu seringkali terdapat struktur kalimat yang rumit dan kosa kata atau ungkapan yang sudah tidak terpakai lagi.
Di antara ciri-ciri khas metode ini adalah (1) Perhatian yang mendalam pada ketrampilan membaca, menulis dan menerjemah, kurang memperhatiakan aspek menyimak dan berbicara. (2) Menggunakan bahasa Ibu sebagai bahasa pengantar dalam kegiatan belajar mengajar, (3) Memperhatikan hukum-hukum nahwu, (4) Basis pembelajarannya adalah penghafalan kaidah tata bahasa dan kosa kata, kemudian penerjemahan secara harfiah dari bahasa target ke bahasa pelajar dan sebaliknya, dan (5) Peran pendidik dalam proses belajar mengajar lebih aktif daripada peserta didik yang senantiasa menerima materi secara pasif.
Metode ini sering menerima kritik karena tidak memperdalam bahasa sebagai sebuah ketrampilan, karena ia melalaikan ketrampilan bicara dan menyimak. Namun ia tetap bernilai sebagai metode, tergantung pada penekanan dari tujuan pembelajarannya sendiri (baca : orientasi).
Di antara kelebihan dari metode ini adalah ia dapat memperkuat kemampuan para peserta didik dalam mengingat, sehingga mereka dapat menguasai dalam arti hafal di luar kepala kaidah-kaidah tata bahasa, karakteristiknya, serta isi detail bahan bacaan yang dipelajarinya. Di samping tentu saja metode ini dapat dilaksanakan dalam kelas besar dan tidak menuntut interaksi aktif dari peserta didik (Radliyah Zaenuddin, dkk., 2005 : 37-38).
Asal usul metode ini dapat dirujuk ke abad pertengahan (abad ke-15) ketika banyak sekolah dan universitas di Eropa mengharuskan siswanya mempelajari bahasa Latin guna mempelajari teks-teks klasik. Namun nama metode ini baru dikenal pada abad ke-19. Metode ini juga banyak digunakan untuk pengajaran bahasa Arab, baik di negara-negara Arab sendiri maupun di negara-negara Islam termasuk Indonesia.
Dengan demikian dapat disebutkan bahwa metode ini mempunyai beberapa karakteristik antara lain
1) Mempelajari bahasa asing bertujuan agar seseorang mampu membaca buku atau naskah dalam bahasa target, seperti kitab-kitab klasik berbahasa Arab.
2) Materi pelajaran terdiri atas buku tata bahasa, kamus dan teks bacaan yang berupa karya sastra klasik atau kitab keagamaan klasik.
3) Tata bahasa disajikan secara deduktif, yakni dimulai dengan penyajian kaidah diikuti dengan contoh-contoh.
4) Kosa kata diajarkan dalam bentuk kamus dwibahasa, atau daftar kosa kata beserta terjemahannya.
5) Proses pembelajarannya sangat menekankan penghafalan kaidah bahasa dan kosa kata, kemudian penerjemahan harfiah dari bahasa sasaran ke bahasa siswa atau sebaliknya.
6) Bahasa ibu digunakan sebagai bahasa pengantar.
7) Peran guru sangat aktif sebagai penyaji materi, sementara siswa berperan pasif sebagai penerima materi.
Di antara kelebihan metode ini adalah
1) Siswa menguasai dalam arti menghafal di luar kepala kaidah atau tata bahasa dari bahasa yang dipelajarinya.
2) Siswa memahami bahan bacaan yang dipelajarinya secara mendetail dan mampu menerjemahkannya.
3) Siswa memahami karakteristik bahasa sasaran secara teoretis dan dapat membandingkannya dengan karakteristik bahasanya sendiri.
4) Metode ini memperkuat kemampuan siswa dalam mengingat dan menghafal.
5) Metode ini bisa diterapkan dalam kelas besar dan tidak menuntut kemampuan guru yang ideal.
Sedangkan kelemahan metode ini antara lain
1) Metode ini lebih banyak mengajarkan tentang bahasa bukan mengajarkan kemahiran berbahasa.
2) Metode ini hanya menekankan kemahiran membaca, sedangkan tiga kemahiran bahasa yang lain diabaikan.
3) Terjemahan harfiah sering mengacaukan makna kalimat dalam konteks yang luas, dan hasil terjemahannya tidak lazim dalam citarasa bahasa ibu.
4) Siswa hanya mengenal satu ragam bahasa sasaran, yaitu ragam bahasa tulis klasik, sedangkan ragam bahasa tulis modern dan bahasa percakapan tidak diketahui.
5) Kosa kata, struktur dan ungkapan yang dipelajari siswa mungkin sudah tidak terpakai lagi atau dipakai dalam arti yang berbeda dalam bahasa modern.
6) Disebabkan otak siswa dipenuhi dengan qawa'id, maka tidak tersisa lagi tempat untuk ekspresi dan kreasi bahasa. (Pokja, 2006 : 100-2).
Meskipun terdapat beberapa kelemahan mendasar yang inheren dalamnya, metode ini dianggap masih cocok digunakan terutama bagi pelajar tingkat lanjutan yang telah memiliki bekal yang cukup dari tingkat sebelumnya (dasar dan menengah).
Alternatif pengembangan metode gramatika-tarjamah
Metode gramatika-terjemah dengan segala kelebihan dan kekurangannya masih menjadi pilihan utama sebagian besar pengajar bahasa Arab. Hal ini perlu dicermati secara seksama mengingat sebagaimana informasi Swara ditpertais yang mensinyalir pengajaran bahasa Arab di perguruan tinggi Islam (PTAIN dan PTAIS) telah gagal.
Secara tidak langsung kegagalan tersebut juga dapat ditimpakan kepada metode yang selama ini digunakan secara intensif yakni metode gramatika-terjemah. Permasalahannya bukan terdapat pada hakikat metode gramatika-terjemah itu sendiri tetapi lebih disebabkan belum adanya sinergitas antara orientasi, quo vadis problematika dan metode yang digunakan. Sinergitas menjadi kata kunci dalam persoalan ini. Ketidakhadirannya meniscayakan kekurangan pada salah satu bahkan keseluruhan penopang keberhasilan pengajaran bahasa Arab.
Kemungkinan penggabungan metode gramatika-terjemah dengan metode lain menjadi suatu hal yang niscaya. Hal ini karena dalam pembelajaran bahasa Arab para pengajar tidak mesti berpegang teguh pada satu metode, tetapi mereka lebih memilih metode yang relevan yang sesuai dengan sifat materi yang diajarkan. Metode yang dapat digunakan sebagai pelengkap dari metode gramatika-terjemah, adalah metode langsung (direct method) (www.ditpertais.net/swara).
Pemilihan metode langsung (direct method) sebagai pelengkap _atau secara bergantian sebagai metode pokok dilihat dari orientasi pengajarannya_ didasarkan pertimbangan kelemahan metode gramatika-terjemah yang terlalu mengabaikan sisi ketrampilan yang salah satunya dapat dipenuhi metode langsung (direct method).
Dengan demikian seorang pengajar masih dapat mempertimbangkan penggunaan metode gramatika-terjemah yang divariasikan dengan metode langsung. Dalam hai ini ada beberapa alasan masih dimungkinkannya penggunaan metode gramatika-terjemah. Alasan tersebut sebagai berikut
(1) Berdasarkan kenyataan di lapangan bahwa rasio mahasiswa : dosen pada sebagian besar PTAI masih belum ideal. Konsekuensinya kelas besar menjadi sebuah keniscayaan,
(2) Jumlah Sks yang diperuntukan pada seluruh fakultas atau jurusan hanya 6 Sks. Jumlah tersebut masih jauh dari cukup jika dibandingkan tujuan ideal pengajaran yang menghendaki pengusaan empat ketrampilan berbahasa mendengar, berbicara, membaca dan menulis.
(3) Input mahasiswa yang beraneka ragam menyulitkan penentuan metode pengajarannya. Dalam hal ini placement test mungkin dapat mengisi celah tersebut tetapi metode lain di luar metode gramatika-terjemah membutuhkan homogenitas kelas hal mana dapat diantisipasi metode gramatika-terjemah dengan sedikit modifikasi materi ajar.
(4) Pemaduan metode gramatika-terjemah dengan metode langsung akan menutupi kelemahan metode gramatika-terjemah dalam pemenuhan 4 kemahiran berbahasa.
Keempat argumen di atas dapat dijadikan penguat dalam pemilihan metode gramatika-terjemah yang divariasikan bersama metode langsung dengan catatan pengajaran di tingkat lanjutan tetap memperhatikan orientasi yang dituju.
Referensi
Hidayat, H.D., “Visi, Misi dan Orientasi Pengajaran Bahasa Arab di IAIN, dalam majalah Didaktika Keislaman vol. 3 No. 6, Mei 2001
Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga, Metodologi Pembelajaran Bahasa Arab, Yogyakarta, 2006
Radliyah Zaenuddin, Metodologi dan Strategi Alternatif Pembelajaran Bahasa Arab, Pustaka Rihlah Group, Cirebon, 2005
Sumardi, Muljanto, Pengajaran Bahasa Asing; Sebuah Tinjauan dari Segi Metodologi, Bulan Bintang, Jakarta, cet ke-2, 1975
Team Penyusun Buku Pedoman Bahasa Arab Dirjen Bimas Islam, Pedoman Pengajaran Bahasa Arab pada Perguruan Tinggi Agama Islam/IAIN, Jakarta, 1976
Umam, Chatibul, “Problematika Pengajaran Bahasa Arab di Indonesia,” dalam majalah Al-Turas, No. 08, Fak. Adab IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 1999
"Laporan Dari Universitas Leipzig Jerman", www.ditpertais.net/swara, diunduh pada 9 Nopember 2008

LAMAN FILOLOGI 1

Filologi dan Khasanah pengetahuan Keislaman

Filologi dan Khasanah Pengetahuan Islam
Oleh : Fuad Munajat
1. Pendahuluan
Fenomena Islam di Indonesia merupakan suatu hal yang telah menarik perhatian para ahli terutama dari Barat untuk mengkajinya. Sudah sejak lama para Orientalis (para ahli ketimuran) mengamati fenomena tersebut dan dari tangan mereka lahir karya-karya yang tak terhitung jumlahnya. Aspek yang dikaji mereka pun sangat beragam meliputi hamper seluruh sisi kehidupan mulai dari bahasa, agama, sastra, sejarah dan lain sebagainya.
Salah satu sarana yang digunakan dalam menggali informasi tersebut adalah naskah-naskah kuna (dalam tulisan ini saya menggunakan kata-kata kuna dan lama dalam pengertian yang sama). Hal ini tidak mengherankan lantaran naskah-naskah tersebut memang menyimpan sejumlah informasi yang berkaitan dengan segala aspek kehidupan pada saat naskah tersebut ditulis.
Persoalan muncul ketika naskah-naskah lama dimaksud tidak bisa digunakan secara langsung akibat adanya perbedaan penggunaan idiom yang tidak lagi dikenal pada masa ini. Di samping itu sejumlah naskah terkadang sudah tidak dalam kondisi prima baik karena kerusakan tinta, kertas maupun sebab usia yang tidak mungkin dihindari.
Mengingat pentingnya informasi yang terkandung dalam naskah-naskah lama diperlukan upaya peningkatan kajian yang mengkhususkan diri pada naskah-naskah tersebut. Kajian yang dimaksud adalah kajian Filologi. Kajian ini sebenernya telah lama digunakan sarjana-sarjana Barat dalam menggali khasanah peninggalan masa lampau. Hanya saja perkembangan kajian ini dirasakan agak berjalan di tempat.
Beberapa kendala yang seringkali menjadi penghambat kajian semacam ini antara lain karena ketidakadaan tenaga ahli atau peneliti yang cukup sabar menggeluti bidang ini dan dibarengi fakta adanya sejumlah besar naskah-naskah lama yang sudah sangat menanti sentuhan pencinta naskah.
Selama ini pihak yang sangat menaruh perhatian pada naskah lama adalah mereka yang berasal dari luar Indonesia, terutama Eropa dan lebih khusus lagi Belanda. Hal ini tidak terlalu mengherankan mengingat Belanda memiliki hubungan yang sangat lama dengan Indonesia. Sebagai Negara penjajah Belanda memiliki koleksi naskah nusantara yang jumlahnya tidak terhitung dan bisa jadi lebih lengkap dari koleksi milik Indonesia sendiri.
Selain Belanda, Inggris juga memiliki koleksi naskah nusantara yang cukup besar menilik peran Gubernur Jendralnya, Raffles, yang selain seorang pejabat pemerintahan ternyata juga merupakan seorang ilmuan. Di samping dua Negara di atas masih ada Negara-negara lain seperti Jerman, Perancis, Rusia dan Amerika Serikat (Henry Chambert-Loir, 1999 : 8-9).
Kenyataan ini tentu memilukan karena naskah-naskah lama yang bisa dianalogikan sebagai harta karun bangsa ini ternyata tersimpan secara apik dan dalam jumlah yang sangat besar di luar negeri. Semakin memilukan lagi manakala kita mendapatkan kenyataan yang kedua bahwa naskah-naskah lama yang masih berada di Indonesia seringkali diselundupkan ke luar negeri oleh tangan-tangan jahil yang hanya menginginkan keuntungan pribadi. Hal ini ditambah lagi kepiluan lanjutan pada saat kita mengetahui bahwa naskah-naskah yang bisa diselamatkan dan sekarang tersimpan di museum-musium ataupun perpustakaan baik nasional maupun daerah, belum mendapatkan sentuhan hangat dari bangsa pemiliknya sendiri, bangsa Indonesia. Tentu sangat ironis.
2. Filologi di Nusantara
Secara harfiah filologi berasal dari dua kata Yunani philos dan logos. Kata pertama berarti ‘teman’ sedangkan kata yang kedua berarti ‘pembicaraan’ atau ‘ilmu’, sehingga tidak salah kalau secara sederhana filologi memiliki konotasi yang kurang lebih sebagai ‘senang berbicara’ atau ‘senang belajar’, ‘senang kepada tulisan-tulisan’ dan kemudian menjadi ‘senang kepada tulisan-tulisan yang bernilai tinggi’ (Baroroh Baried dkk., 1994 :2).
Sementara itu kata filologi secara istilah digunakan sebagai penyebutan untuk keahlian yang diperlukan untuk mengkaji peninggalan tulisan yang berasal dari kurun waktu yang telah lama. Sebagai istilah, kata filologi pertama kali digunakan di Iskandariyah pada abad ketiga sebelum masehi(Baried dkk., ibid).
Pada masa itu Erastothenes (Abad ke-3 SM) mencoba mengkaji kembali naskah-naskah yang berasal dari abad ke delapan sebelum masehi. Tentu saja hal ini mendapatkan kesulitan yang luar biasa dikarenakan bahasa yang dipergunakan pada naskah-naskah tersebut sudah tidak lagi digunakan pada masa Erastothenes. Untuk tujuan tersebut dibutuhkan teknik-teknik atau cara-cara tertentu baik melalui penelusuran maupun peerbandingan naskah-naskah yang pada akhirnya disebut dengan metode filologi.
Paling tidak, ada beberapa faktor yang mendorong lahirnya disiplin filologi sebagaimana disebutkan Baroroh Baried dkk. (1994 : 2) sebagai berikut :
a. Munculnya informasi tentang masa lampau di dalam sejumlah naskah atau karya tulisan .
b. Anggapan adanya nilai-nilai yang terkandung dalam peninggalan tulisan masa lampau yang masih relevan dengan kehidupan masa kini.
c. Kondisi fisik dan substansi materi informasi akibat rentang waktu yang panjang.
d. Perubahan latar belakang budaya antara masa lalu dan masa sekarang
e. Keperluan pemerolehan pemahaman yang lebih tepat dan akurat.
Penelitian naskah kuno Nusantara pertama kali dilakukan justru oleh para penginjil karena kepentingan penerjemahan Bibel ke dalam bahasa Melayu. Untuk itu dengan sendirinya dibutuhkan pemahaman bahasa yang menjadi tujuan penerjemahan tersebut. Bisa dikatakan perkembangan selanjutnya memperlihatkan adanya keinginan untuk mengembangkan sayap penelitian naskah yang pada awalnya untuk kepentingan misionaris itu bergeser menuju penerbitan karya-karya lainnya dalam hal ini karya nusantara untuk tujuan pengenalan.
Berdasarkan proses yang disebut terakhir inilah, muncul karya-karya terbitan naskah pertama seperti Brata-Joeda oleh Cohen Stuart (1860), Ramayana Kakawin oleh Kern (1900) Nagarakrtagama oleh Brandes (1902), Brahmanda Purana oleh Gonda (1932), Het Bhomakawya oleh Teew (1946), Adat Atjeh oleh Drewes dan Voorhove (1958), Java in the 14th Century (Pigeud, 1960), Asraar al-Insan fi Ma’rifa Al-Ruh wal-Rahman (Tudjiman,1960), Hikayat Bandjar (Ras, 1968) dan lain sebagainya (Lihat Baroroh Baried dkk., 1994 :71-74).
Nampak bahwa perhatian terhadap naskah-naskah bermuatan Islam masih sangat sedikit apalagi mengingat cakupan area yang menjadi wadah sangat besar. Wadah yang dimaksud adalah berbagai bahasa daerah yang sangat akrab dengan muatan Islam seperti bahasa Bugis, Jawa, Sunda dan tentu saja Melayu bahkan bahasa Arab. Di samping itu dapat dikedepankan wadah genre penulisan naskah lama seperti hikayat, hikayat petualangan ajaib, babat , syair dan lain sebagainya.
Lebih jauh berkaitan dengan penelitian naskah kuna terdapat dua aliran yang penting untuk diketahui. Pengetahuan akan kedua aliran tersebut dapat membantu kita memahami berbagai karya filologis yang telah dihasilkan. Pertama, aliran yang yang menganggap bahwa kesalahan dan penyimpangan dalam penyalinan atau penurunan naskah satu kepada naskah lainnya sebagai sesuatu yang negatif. Kedua, aliran yang menganggap persoalan sebagaimana tersebut di item pertama sebagai sebuah kreativitas yang tidak bernilai negatif. Aliran yang pertama merupakan aliran tradisional sedangkan yang terakhir dapat disebut sebagai aliran modern.
Aliran tradisional merupakan aliran yang pertama kali muncul, yakni semenjak masa Eratosthenes yang lebih menekankan penelusuran asal mula teks. Bagi aliran tersebut yang terpenting adalah bagaimana mencari teks mula atau teks yang mendekati teks mula. Sedangkan aliran yang kedua lebih menekankan penyimpangan atau variasi sebagai sebuah kreativitas. Aliran yang kedua memberi arah baru dan sekaligus kegairah tersendiri khususnya bagi pengkaji naskah lama Nusantara yang salah satu karakteristiknya adalah situasi bahasa yang berbeda dengan yang pernah dialami oleh naskah manapun baik Iskandariyah, Romawi dan Latin kuno. Pada yang pertama bahasa yang disalin dari naskah satu kepada naskah beikutnya masih hidup atau dengan kata lain bahasa yang ada pada naskah yang disalin adalah tidak lain dari bahasa si penyalin. Sementara pada situasi yang kedua bahasa yang disalin sudah tidak dikenal lagi atau bisa dikatakan sebagai bahasa yang telah mati.
Karakter lain dari naskah nusantara yang sebenarnya merupakan konsekuensi dari karakter pertama tadi adalah keberadaan penyalin sebagai pengarang kedua sehingga muncul istilah co-author. Kenyataan seperti ini tentu membawa implikasi metodologis dalam mengkaji naskah-naskah lama. Umumnya, sebelum adanya pandangan modern para peneliti lebih menekankan pada pencarian asal mula teks sedangkan setelah munculnya pandangan modern terutama dipengaruhi pemikiran Kratz , para peneliti mulai menganggap variasi sebagai bentuk kreativitas sehingga penekanan lebih pada fungsi yang dimainkan sebuah teks dalam kaitannya dengan konteks masa penyalinannya (Chamamah, 1991 :12-13).
3. Keragaman kandungan naskah dan eksistensi naskah Arab Nusantara
Berdasarkan data yang tercatat, naskah tulisan tangan yang dimilkiki bangsa Indonesia tidak kurang dari 5000 naskah dengan 800 teks yang terdapat di seantero jagat (Baroroh Baried dkk., 1994 : 9). Adapun isi atau kandungan teksnya berkisar pada beberapa aspek kehidupan antara lain sejarah, hukum, adap istiadat, kehidupan sosial, obat-obatan, kehidupan beragama, filsafat, moral dan lain sebagainya.
Sebenarnya kalau kita ingin memperinci kandungan naskah tersebut kita dapat memasukkan aspek lainnya seperti bahasa (gramatika Arab), Tafsir, fikih dan sederet karya mistik Islam (tasawuf).
Beberapa judul naskah dapat memberikan gambaran kandungan tersebut antara lain sebagai berikut :
a. Hikayat Nabi Yusuf
b. Hikayat Nuh
c. Hikayat Muhammad Hanafiyyah
d. Hikayat Ibrahim bin Adzam
e. Bustanussalatin
f. Siratal Mustaqim, dan lain sebagainya
Beberapa judul yang disebut di atas dengan jelas memperlihatkan muatan nilai-nilai Islam yang pada saat itu memang sangat dominan. Meskipun demikian hal yang patut dicermati adalah banyaknya karya dalam bentuk atau memakai judul Hikayat menjukkan betapa dunia sastra pada masa itu digunakan secara efektif dan tepat sasaran sebagai bagian dari dakwah Islam.
Keragaman naskah nusantara dapat kita lihat pada katalog-katalog yang telah ada. Katalog merupakan alat bibliografis yang memberi akses pada naskah, namun katalog pun sudah berjumlah ratusan dan tidak diketahui umum (Chamber Loir :10). Oman Fathurrahman memiliki pengalaman bahwa data-data atau keterangan yang penting justru ia dapatkan bukan dari katalog-katalog namun lebih jauh melalui artikel-artikel lepas yang tersebar di berbagai tempat. Gambaran tersebut menandakan pentingnya peran ketekunan dan kesabaran yang luar biasa dari seorang peneliti naskah atau filolog.
Seorang filolog biasanya mengambil sebuah spesifikasi naskah berbahasa tertentu, misalnya Jawa, Sunda, Melayu, Bugis dan Arab. Penting ditekankan di sini bahwa naskah berbahasa Arab sebagaimana tercantum dalam katalog PNRI berjumlah 764 naskah atau bahkan disinyalir 1000 buah naskah. Jumlah naskah Arab yang cukup besar juga terdapat di Dayah Tanoh Abee, Seulimeum, Aceh, berjumlah tidak kurang dari 3.500 teks keagamaan. Dalam konteks keagamaan (baca: Islam), naskah-naskah di Tanoh Abee ini layak mendapat perhatian khusus, selain karena semuanya bersifat agama, ia juga semakin penting karena mencerminkan dasar pendidikan agama di daerah Aceh pada abad 19.
Di luar negeri, naskah-naskah Arab terdapat antara lain di Universiteits Bibliotheek, Leiden, Belanda, yaitu sekitar 5000 buah naskah Arab (lihat Voorhoeve 1957 & 1980). Selain itu, —meskipun bercampur dengan bahasa Melayu— terdapat sekitar 700-an naskah Arab di Muzium Islam Kuala Lumpur, Malaysia.
Tabel berikut dapat meresume persebaran keberadaan naskah beraksara dan sekaligus berbahasa Arab (data tambahan berasal dari Henry Cambert-Loir, 1999 : 39-42)..
NO
Tempat Koleksi Naskah Berbahasa Arab
Jumlah naskah
1
Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI), Jakarta
+ 1000
2
Dayah Tanoh Abee, Seulimeum, Aceh
+ 3.500
3
UniversiteitsBibliotheek, Leiden, Belanda
+ 5.000
4
Muzium Islam Kuala Lumpur, Malaysia
+ 700-an
5
South Africa Cultural Museum
6
6
American Philosophy Society
1
Penting dicatat bahwa jumlah tersebut belum termasuk naskah-naskah milik pribadi yang banyak tersebar di kalangan masyarakat, yang sayangnya sering tidak dapat diakses karena dianggap suci (baca: keramat). Itu pun baru naskah berbahasa Arab, belum lagi naskah-naskah dalam bahasa daerah Nusantara lainnya, seperti Melayu, Jawa, Sunda, Aceh, Bali, Batak, Bugis-Makassar, dll. yang tidak jarang juga memuat teks-teks keagamaan pula (Oman : www.naskahkuno.blogspot.com)
Di Jawa Barat misalnya, produksi naskah-naskah keagamaannya berkembang dengan sangat signifikan. Apalagi di wilayah ini pula, tepatnya di daerah Pamijahan Tasikmalaya, berkembang sebuah tradisi tarekat, yakni tarekat Syattariyyah, dengan Shaikh Abdul Muhyi Pamijahan sebagai “suhu”nya, yang tentu saja telah menghasilkan banyak teks keagamaan, baik yang berbahasa Arab, Sunda maupun Jawa. Penelitian yang telah dilakukan oleh Tommy Christomy menunjukkan, betapa naskah-naskah keagamaan yang ada mampu memberikan gambaran atas dinamika dan perkembangan tarekat Syatariyyah khususnya, dan Islam lokal di wilayah ini pada umumnya. Ada hal lain yang juga penting dicermati. Khusus untuk penelitian naskah-naskah Arab, di UI sendiri pun —yang telah akrab dengan kajian pernaskahan sejak akhir paruh pertama abad 20— hingga terakhir diperiksa, hanya tercatat tidak lebih dari 25 penelitian dalam bentuk skripsi, 2 tesis, yaitu Fauzan Muslim (1996), Kunhu Ma La Budda Minhu karya Ibnu Arabi, dan Fathurahman (1998), Tanbih Al-Masyi Al-Mansub Ila Tariq Al-Qusyasyi, karya Abdurrauf Singkel. Sedangkan untuk disertasi, hanya satu buah, yaitu Purwadaksi (1992), dengan karyanya, Ratib Samman dan Hikayat Syekh Muhammad Samman (Oman : www.naskahkuno.blogspot.com).
4. Urgensi Filologi pada penggalian khasanah pengetahuan Islam
Dalam tulisannya Naskah dan Penelitian Keagamaan (dalam Nabilah), Oman Fathurahman memperlihatkan betapa naskah-naskah Nusantara terutama naskah Melayu memeliki nuansa keislaman yang sangat kental. Nuansa tersebut terdapat pada naskah-naskah yang memuat tema-tema seperti fiqih, tafsir, tauhid dan tasawuf (dalam Nabilah Lubis, 2001 : 2).
Indikasi yang cukup kuat ini didukung dengan adanya informasi-informasi yang kita temukan dalam katalog-katalog naskah. Katalog PNRI (Perpustakaan Nasional Republik Indonesia) misalnya mendaftarkan sekitar + 764 naskah berbahasa Arab ini belum memperhitungkan varian naskah karena hanya melihat data A 764 sebagai akhir dari halaman daftar tersebut (Behrend, 1998 :21). Koleksi naskah Melayu PNRI juga tergolomg besar yakni sejuimlah + 542 naskah.
Kita tentu yakin bahwa khasanah Islam tidak hanya ditulis dalam bahasa Arab dan Melayu saja melainkan juga dalam bahasa-bahasa Nusantara lainnya seperti bahasa Jawa, Sunda, Bugis dan lain sebagainya. Hal ini di satu sisi menandakan betapa intensnya penyebaran Islam di kawasan Nusantara dan di sisi yang lain mengindikasikan betapa luas dan kayanya materi naskah kita.
Beberapa karangan ilmiah seperti tesis dan disertasi telah banyak mengungkap kekayaan nilai-nilai Islami. Satu contoh disertasi yang cukup menarik menurut saya, adalah karya Fadlil Munawar Manshur berjudul Kasidah Burdah Al-Bushiry dan Polpularitasnya dalam berbagai Tradisi; Suntingan Teks, Terjemahan, dan Telaah Resepsi. Disertasi yang dipertahankan Fadlil pada awal 2007 ini menggambarkan betapa karya sastra yang asalnya dari Arab mendapat bentuk atau sambutan yang beragam dari berbagai tradisi dunia di lima benua dan khususnya di Indonesia dalam tradisi Jawa, Sunda dan Melayu/Indonesia (Fadlil, 2007 : 4, 44 dan 45). Salah satu butir kegunaan penelitiannya adalah untuk meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap ajaran-ajaran agama, khususnya tasawuf, yang tertuang dalam naskah-naskah keagamaan yang bercorak tasawuf (lihat butir iv, Fadlil, 2007 : 8).
Sinyalemen yang mengarah pada berlimpahnya tulisan-tulisan yang bercorak keagamaan ini dikuatkan dengan adanya kenyataan luasnya pengaruh Islam di Nusantara. Implikasinya tentu kita dapat membayangkan adanya kegiatan-kegiatan yang intens pada masa lalu dalam hal penyebaran paham-paham keagamaan.
Belum lagi adanya polemik di sekitar para ahli keagamaan yang memicu pertikaian paham dan pada gilirannya penggunaan motif kekerasan (pemaksaan) dalam melegitimasi hegemoni paham seseorang terhadap yang lain. Masih segar dalam ingatan kita polemic antara Hamzah Fansuri dan Nuruddin Arraniri yang berakhir dengan pembakaran karya-karya tokoh yang pertama oleh pengikut Arraniri.
Dalam hal naskah-naskah keagamaan, sebagaimana dinyatakan Oman, tampak bahwa jumlah naskahnya kelihatan lebih menonjol, terutama karena terkait dengan proses islamisasi di Indonesia yang banyak melibatkan para ulama produktif di zamannya. Data-data yang dijumpai umumnya memberi penjelasan bahwa naskah-naskah keagamaan tersebut ditulis oleh para ulama terutama dalam konteks transmisi keilmuan Islam, baik transmisi yang terjadi antara ulama Melayu-Nusantara, di mana Indonesia termasuk di dalamnya, dengan para ulama Timur Tengah, maupun antarulama Indonesia itu dengan murid-muridnya di berbagai wilayah.
Dua pola transmisi keilmuan yang terjadi di wilayah Indonesia tersebut pada gilirannya membentuk pula dua kelompok bahasa naskah: pertama naskah-naskah yang ditulis dalam bahasa Arab; dan yang kedua naskah-naskah yang ditulis dalam bahasa-bahasa daerah. Dalam perkembangannya, jumlah naskah tersebut kemudian semakin membengkak dengan adanya tradisi penyalinan naskah dari waktu ke waktu, baik yang dilakukan oleh murid-murid untuk kepentingan belajar, maupun yang dilakukan oleh “tukang-tukang salin” untuk kepentingan komersil (Oman : www.naskahkuno.blogspot.com). Singkatnya, pola transmisi berlangsung dengan dua orientasi, didaktis di satu sisi dan komersial di sisi lainnya.
Berkenaan dengan mendesaknya penggalakan kajian filologis ini dapat dikaitkan terutama mengingat kondisi naskah sendiri yang berbahan dasar kertas dari beberapa abad yang lalu. Bisa dibayangkan betapa lapuknya bahan tersebut padahal upaya menggali kandungannya belum banyak dilakukan. Di samping itu masih banyak naskah yang berada di tangan perorangan yang biasanya memperoleh naskah tersebut secara turun temurun. Mereka biasanya menggunakan cara tradisional dalam melakukan pelestarian. Hal ini cukup riskan mengingat tidak ada jaminan batas waktu kapan upaya pelestarian dapat bertahan apalagi bila kita kaitkan dengan bencana Tsunami di Aceh 26 Desember 2004 lalu yang melenyapkan sejumlah besar naskah kita.
Upaya penyerahan naskah-naskah individual dapat menjadi solusi yang bijak sebagaimana telah dilakukan Abdurrahman Wahid pada 1993 yang lalu ketika menyerahkan sejumlah naskah yang dimiliki keluarganya. Naskah tersebut terdiri dari 67 naskah berasal darialam pesantren Jawa Timuran sekitar abad ke-18 sampai ke-20, ditulis dengan aksara Arabdi atas kertas gendhong atau tela, berbahasa Arab dan biasanya diselingi catatan antar alinea dalam bahasa Jawa Pegon (T.E. Behrend, 1998 : xvi).
Paling tidak di tangan pemerintah melalui PNRI, naskah-naskah tersebut mendapat perawatan yang lebih baik di samping kemampuan pemerintah melalui sumber dananya mengupayakan pemikrofilman naskah-naskah tersebut.
5. Peluang PTAI
Bagi PTAI (baca : Perguruan Tinggi Agama Islam baik Negeri maupun swasta) fakta-fakta yang telah saya uraikan di atas tentu menjadi semacam peluang dan sekaligus tantangan. Bahkan tidak berlebihan kalau saya perkirakan celah ini sebagai alternatif pengembangan keahlian mahasiswa PTAI yang nota bene memiliki kapasitas yang cukup baik dari sisi penguasaan Bahasa Arab dan pengetahuan Islam yang lebih luas ketimbang mahasiswa dari PTU (baca : Perguruan Tinggi Umum).
Mata Kuliah bahasa Arab di PTAI paling tidak diberikan selama dua semester dan bagi mahasiswa Fakultas Adab terkadang mencapai tiga semester. Bekal tersebut menurut saya sangat cukup terlebih jika input mahasiswa PTAI sudah memiliki dasar bahasa Arab dan pengetahuan Islam di tingkat sekolah Menengah baik Madrasah Aliyah maupun Pondok Pesantren.
Penting disebut pada kesempatan ini bahwa program studi atau konsentrasi filologi di Perguruan Tinggi Umum biasanya terdapat pada Fakultas Sastra atau Fakultas Ilmu Budaya hal mana baru bisa diterapkan di PTAI setingkat UIN dan IAIN yang juga memiliki Fakultas Adab (sastra). Pada dua lembaga terakhir mata kuliah filologi biasanya diberikan pada mahasiswa semester VI dengan bobot 3 SKS. Bobot 3 SKS ini jelas sangat jauh dari cukup mengingat luasnya materi dan bahan yang seharusnya dapat dikuasi mahasiswa.
Idealnya matakuliah filologi diberikan minimal dua semester dengan perincian satu semester digunakan sebagai penghantar teori sementara semester berikutnya lebih ditekankan filologi sebagaimana dalam praktek penelitian baik berupa penganalisaan tesis atau disertasi yang menggunakan naskah sebagai obyeknya.
Senada dengan uraian di atas, Oman Fathurahman secara eksplisit menyebut dua keunggulan PTAI yang tidak dimiliki kalangan akademisi lainnya sebagaimana uraiannya berikut ini:
…Universitas Islam Negeri (UIN), Institut Agama Islam Negeri (IAIN), dan perguruan tinggi Islam lainnya, tampaknya harus mengambil porsi yang lebih besar (pen. : dalam kajian filologi), karena setidaknya dua alasan : Pertama, UIN/IAIN memiliki SDM yang kuat dalam bidang keislaman, termasuk di dalamnya penguasaan atas bahasa yang banyak digunakan dalam naskah, yakni bahasa Arab. Apalagi —seperti telah dikemukakan— berbagai naskah Melayu pun umumnya ditulis dengan aksara Arab (tulisan Jawi), sehingga penguasaan atas aksara dan bahasa tersebut menjadi sangat signifikan. Sejauh ini, minimnya penguasaan para filolog —yang umumnya berlatar belakang pendidikan umum— terhadap bahasa Arab seringkali menjadi faktor penghambat dilakukannya penelitian atas naskah-naskah keagamaan tersebut, sehingga tidak mengherankan jika naskah-naskah tersebut, khususnya yang berbahasa Arab, sejauh ini lebih banyak “ditelantarkan”. Kedua, secara keilmuan, civitas akademika UIN/IAIN sangat berkepentingan dengan data-data yang terekam dalam naskah-naskah keagamaan tersebut. Sehingga, memelihara dan memanfaatkannya sebagai rujukan keilmuan, pada gilirannya akan memperkuat basis IAIN sendiri sebagai sebuah institusi pendidikan yang concern dengan bidang-bidang ilmu keislaman. Selain itu, kemudahan akses terhadap naskah-naskah tersebut juga diharapkan dapat membantu komunitas UIN/IAIN untuk mendapatkan pemahaman yang lebih luas tentang Islam (broader understanding of Islam), khususnya yang berkembang di wilayah Melayu-Indonesia ( Oman : www.naskahkuno.blogspot.com).
Pernyataan tersebut tentu semakin memperkuat keyakinan bahwa penelitian naskah lama terutama naskah berbahasa Arab dan naskah lain yang memuat aspek keislaman dapat menjadi area yang sangat menarik bagi akademisi maupun calon akademisi di lingkungan PTAI.
Dengan munculnya karya-karya ilmiah yang membahas khasanah Islam melalui naskah lama semakin membuka jalan kajian filologi berkembang di Indonesia. Khusus di PTAI, nama-nama seperti Azyumardi Azra, Nabilah Lubis, dan Oman Fathurrahman dapat dipandang sebagai pelopor kajian semacam ini. Azra dengan karyanya Jaringan Ulama Timur Tingah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII,. Nabilah melalui disertasinya Zubdat Al-Asrar fi Tahqiq Ba’d Masyarib Al-Akhyar Karya Syekh Yusuf Al-Makasari; yang kemudian terbit dalam buku Syekh Yusuf Al-Makasari; Menyingkap Intisari Segala Rahasia dan Oman Fathurrahman dengan bukunya Tanbîh al-Mâsyî. Menyoal Wahdatul Wujud; Kasus Abdurrauf Singkel. Karya-karya lainnya masih menunggu uluran perhatian kita semua.
6. Kesimpulan
Berdasarkan uraian yang dikemukakan di muka kiranya kita dapat memahami atau paling tidak mengenal adanya sebuah disiplin keilmuan yang mungkin saya ibaratkan sebagai sesuatu yang seakan-akan jauh di mata namun dekat di hati, yakni disiplin Filologi. Saya sebut demikian guna mengetuk hati para pembaca untuk sekali lagi merenungkan betapa kajian semisal ini sangat mungkin dan tentu saja amat penting bagi kita semua namun keberadaannya masih sayup-sayup terdengar meski sebenarnya bahan mentahnya banyak bersliweran di sekitar kita.
Paling tidak ada beberapa hal yang ingin saya sampaikan sebagai kata akhir namun saya harap berimplikasi menjadi pemakadam jalan bagi aktivitas kita selanjutnya
a. Bidang kajian filologi sangat penting bagi kontinuitas kesejarahan dan pengembangan modal sosial bangsa Indonesia secara umum dan umat Islam secara khusus
b. Masih banyak terdapat naskah-naskah kuna warisan leluhur yang belum mendapat perhatian dan sekaligus merindukan sentuhan para pecintanya
c. Di antara sekian banyak khasanah yang tersimpan terdapat sekian ribu_bahkan menurut Nurcholis Madjid_jutaan naskah yang mengandung muatan keagamaan (Islam)
d. Kenyataan ini merupakan tantangan sekaligus peluang bagi para akademisi ataupun mahasiswa PTAI yang tentunya memeliki kapabilitas yang lebih baik dibanding mereka yang berlatar belakang dari PTU.
e. Dibutuhkan kerja besar dan terencana dari para pembuat kebijakan di tingkat Nasional maupun institusi karena kegiatan ini membutuhkan komitmen bersama.
Akhirnya saya mengajak para pembaca untuk lebih memperhatikan warisan leluhur bangsa ini tidak hanya dengan merawat dan menyimpannya sebagai barang azimat, tetapi lebih dari itu mengembangkannya menjadi sesuatu yang lebih berguna dan bermanfaat untuk generasi yang akan datang. Semoga ada manfaatnya.
Daftar Pustaka
Fadlil Munawar Manshur, Kasidah Burdah Al-Bushiry dan Polpularitasnya dalam berbagai Tradisi; Suntingan Teks, Terjemahan, dan Telaah Resepsi, Disertasi Program Doktoral UGM, Jogjakarta, 2007
Henry Chambert –Loir dan Oman Fathurrahman, Khazanah Naskah; Panduan Naskah-naskah Indonesia Sedunia, Ecole Francaise d’Extreme-Orient dan Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1999
Oman Fathurrahman, Naskah dan Penelitian Keagamaan, (dalam Nabilah Lubis, Naskah, Teks dan Metode Penelitian Filologi, Yayasan Media Alo Indonesia, Jakarta, 2001
-------------------------, Khazanah Naskah-naskah Islam Nusantara, www.naskahkuno.blogspot.com
-------------------------, Filologi dan Penelitian Teks-teks Keagamaan, www.naskahkuno.blogspot.com
Siti Baroroh Baried dkk., Pengantar Teori Filologi, BPPF, Fak. Sastra UGM, Yogyakarta, 1994
Siti Chamamah Soeratno, Hikayat Iskandar Zulkarnain; Analisis Resepsi, Balai Pustaka, Jakarta, 1991
T.E. Behrend (Ed.), Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara Jilid 4, Yayasan Obor Indonesia-Ecole Francaise D’Extreme Orient, Jakarta, 1998