Musafir Kelana
Oleh : Fuad Munajat
Entah
sudah berapa bulan kutinggalkan negeri yang pernah memberikan Aku
manisnya masa remaja. Kepergianku saat itu bukan untuk menjemput
kebahagiaan yang menyembulkan wajahnya dari atap langit harapan. Namun
justru mengubur semua kenangan yang senantiasa mengejar-ngejarku di pagi
hari, siang terik, gelap malam bahkan sampai mimpiku. Kenangan pilu
sesaat kebahagian akan hadir di depan mata. Sewaktu semua orang
menjunjung suka dan mengenyahkan duka jauh-jauh dalam pusara bawah sadar
mereka. Sesaat sebelum pelaminan terhampar, sebuah kabar dibawa Gagak hitam dari dahan pohon jati nan tinggi. Aku tersurut. Kemana sang Merpati
yang biasa menghampiri? Bukankah dia yang selama ini menjadi penyambung
hatiku dengan kasih pujaanku. Adakah sakit yang menyertainya? Atau
sudah bosankah ia mengantar kebahagiaanku? Gagak tergagap tak bisa
menjawab. Dipalingkannya kedua sayapnya isyarat akan pergi. Aku menahan
sejadi-jadi. Berharap ia berbaik hati. Memberi senyum meski sekali.
Selayaknya yang senantiasa dilakukan sang merpati. Gagak tegak tak
berubah mimik, ia menggumam berkali-kali, bersungut-sungut sejadi-jadi,
aku tak kuasa menyampaikan ini, tokh Merpati sang penerang hati
pun surut enggan kemari. Hanya aku yang dicaci karena setiap datang
pastilah sedih, ya berita sedih. Tunanganmu pergi tadi malam dengan
kekasih hati. Aku meradang “Aku lah kekasih hatinya”, “Akulah belahan
jantungnya”, “Aku lah puncak harapannya”, “Aku….. Aku…..Aku…telah
dikecewakannya.”
Aku
berangkat ke tanah suci bukan untuk menjalankan ritual suci. Setelah
pengurusan segala persyaratan aku dipersilahkan menaiki pesawat Garuda.
Tiba-tiba saja sang Garuda menegurku seakan tahu apa tujuan
kepergiaanku. “Kamu tidak akan menjumpai pujaan hatimu di tanah suci”.
“Tanah itu hanya untuk jiwa-jiwa berhati bersih. Bukan kotor seperti
milikmu”, begitu kira-kira dia memulai pembicaraannya. Aku tak hiraukan
ocehannya yang bernada mengejekku. Dia terus menerus melemparkan
kecamannya, menyudutkan aku hingga ke sudut ruangan. Aku tak tahan lagi.
Ku hardik dia supaya berhenti, umpat caci tak ada arti bagi jiwa yang
telah hancur. Bagai mayat yang tak rasa perih walau pedang menusuk-nusuk
ulu hati. Percuma saja kau tusuk hatiku. Kendalikan saja kemudimu.
Berperang denganku, walaupun menang, kau bukan bak pahlawan, pahlawan
hanya untuk kemenangan dengan lawan sama imbang.
Dari
kejauhan kulihat negeri suci. Aku tak tahu kenapa banyak orang bilang
ia suci. Adakah setiap orang di sini suci-suci, mungkinkah musafir yang
datang ke sini menjadi suci setelah tinggal beberapa hari. Aku berharap
demikian. Aku ingin kesucian menyucikan jiwa yang larut dalam kegamangan
tak bertepi. Aku berharap ini akan jadi perjalanan yang tak sia-sia.
Atau kalau mungkin kutemukan belahan jiwa.
Saudi
terkenal karena kesuciannya. Padanya tegak bangunan yang amat kuat.
Kuat karena sudah berusia ribuan tahun. Tegap karena berbentuk kubus.
Berbadan batu, berselendang hitam. Kesuciannya terkenal ke seluruh
penjuru dunia, bahkan berabad-abad lalu nenek moyangku telah
menginjakkan kakinya di sini, untuk mereguk kesucian. Tanah suci, air
zam-zam suci, rumah suci, masjid suci seolah tak ada nila setitikpun di
negeri ini. Aku terharu. Bilakah kesucian itu menggamit tubuhku yang
nista? Tiba-tiba aku dikejutkan kepakkan Elang Arab. Negeri-negeri Arab memang senantiasa disimbol dengan Elang-elangnya. Shaqr
kata mereka. Aku jadi ingat pahlawan Bani Umayyah yang dengan gagah
merambah Andalusia meski dikejar prajurit Bani Abbasiyah. Ksatria itu
berhasil lolos dari maut bahkan mendirikan imperium Islam terbesar di
Eropa, ya Aku ingat dia adalah Abdurrahman Ad-Dakhil yang dijuluki elang Quraisy (Shaqru Quraisy).
Kebasan sayap sang Elang
untuk kesekian kalinya menyadarkanku. Aku terpana dengan elang itu.
Wajahnya laksana Garuda yang menghantarkanku dari Cengkareng sampai ke
Jeddah. Namun apakah dia saudara kandungnya? Kembarannya? Atau hanya mirip doang! Sejenak
dia perkenalkan dirinya. Dengan bangga dia berucap negerinya adalah
negeri besar. Kerajaannya sangat kaya raya. Di sini tidak ada orang
miskin, kere, atau gelandangan. Anda masuk dalam kategori mana? Miskin, kere,
atau yang ketiga? Kuberitahu ya…, cerocos Elang yang tak memberiku
kesempatan bicara, bahwa penginapan di sini mahal-mahal. Makanan pun
mahal-mahal. Apalagi gadis-gadisnya… ha…ha….ha…, sampai rambutmu penuh
mutira putih kau tak akan mendapatkannya, ha…ha…ha…
Elang itu seakan tahu segala isi hatiku, seluruh aliran darahku
disumbatnya, nadi-nadiku pun sekejap membeku, tak ada ruang tuk berpikir
jernih karena otakku sudah dijajahnya.
Kuteriak
keras-keras. Aku jemu dengan segala perkataan-nya, dengan segala
ejekannya, ejekan Elang dan saudara-saudaranya, Garuda, Gagak dan
merpati. Aku berserapah mengumbar dendam. Dendam kepada pujaan hati yang
membuatku patah hati, melemparkanku ke hamparan gurun pasir, kukira ada
kesejukan, kesucian, ternyata hanya fatamorgana. Burung-burung itu pun
sekonyong-konyong terbang di atas kepalaku. Dan terbangnya semakin riuh
rendah, mendarat tepat di hadapanku. Dengan tulus mereka berujar, wahai
musafir kelana sang pencari kesejukkan dan kesucian! Ketahuilah
kesejukkan dan kesucian tidak akan kau temukan di mana pun, karena
sesungguhnya ia ada di dekatmu, sangat dekat bahkan ia lebih dekat dari
urat nadimu, carilah ia dalam dadamu, dalam ruh dan jiwamu, temukan dia
kawanku! Selama burung masih berkicau, kau masih punya kesempatan!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar