ASAL MULA KONFLIK ARAB –ISRAEL
Oleh : Fuad Munajat[*]
Masalah
Palestina merupakan salah satu problem yang sudah sekian lama
berlangsung dan hingga kini belum mencapai titik penyelesaian yang
tuntas. Rumitnya permasalahan tersebut disebabkan banyaknya pihak yang
terlibat di dalamnya di samping masalah geografis Palestina yang
meliputi monumen bersejarah tiga agama besar dunia Yahudi, Kristen dan
Islam. Hal ini tentunya menyeret sisi emosional yang tidak terukur
dalamnya.
Tulisan
berikut tidak akan mengkafer semua permasalahan yang sudah tersebut di
atas melainkan terbatas hanya pada asal mula konflik Arab Israel sebagai
mana judul tulisan ini. Pengetahuan akan asal mula konflik Arab Israel
sangat penting dalam rangka memahami konstelasi Negara-negara Timur
Tengah dalam percaturan politik dan pergaulan internasional.
Di
antara konflik-konflik yang mendominasi kancah sejarah abad ke-20
konflik Arab-Israel menduduki posisi yang spesial. Konflik lainnya
terkadang sama kerasnya, namun sedikit di antaranya yang senantiasa
melibatkan perang dalam skala besar dan memilukan sebagai mana konflik
Arab-Israel (Harvey Sicherman, 1993 : 1).
Secara
sederhana kita dapat menemukan bibit konflik Arab Israel pada keinginan
orang Yahudi memiliki sebuah Negara setelah mengalami sekian lama hidup
berdiaspora (tercerai berai). Keinginan tersebut mengerucut dalam
sebuah ideology zionisme yang muncul pada akhir abad ke-19 (Siti
Muti’ah Setiawati (Ed.), 2004 : 208). Akibatnya mudah ditebak yakni
adanya pergesekan antara dua bangsa yang menginginkan satu wilayah One Land, Two People. Masing-masing
mengaku sebagai pihak yang paling berhak atas tanah itu. Implikasinya
masing-masing berupaya meraih apa yang diakui sebagai milik kelompoknya
(M. Riza Sihbudi dkk., 1993 : 42). Meski antagonisme kedua belah pihak
dapat dirunut sejak masa lampau, namun konflik Arab-Israel sebagaimana
kita kenal praktis baru berumur seratus tahun (Harvey Sicherman, 1993 :
2).
ZIONISME
Zionisme
sebagaimana kita temukan dalam penggunaan masa kini sebenarnya telah
mengalami metamorfosa makna dari makna harfiah seperti terekam dalam
kitab Mazmur hingga makna modernnya sebagaimana dipahami sekarang (Jakob
Katz dkk., 1997 : 19). Dalam Mazmur terdapat keterangan sebagai berikut
:
Di tepi sungai-sungai Babylon
Di sana kita duduk sambil menangis
Ketika kita teringat Zion (Mazmur 137 : 1)
Zionisme dalam batasan etimologi merujuk kepada kata Zion
yang merupakan nama bukit tempat kompleks ibadah Yahudi di kota
Yerussalem (Ensiklopedi Tematis Dunia Islam 6, 2002 : 22). Sedangkan
secara terminologis zionisme pada hakikatnya tidak lain adalah cita-cita
dan gerakan orang-orang Yahudi untuk mendirikan Negara bagi orang
Yahudi di Palestina yang mereka anggap sebagai tanah leluhur mereka atau
tanah yang dijanjikan (the Promised Land) (BPPMLN-Deplu, 1976 :5).
Gagasan
zionisme dipengaruhi pandangan nasionalisme Eropa yang pada intinya
berorientasi pada pendasaran Negara berasakan suatu bangsa tertentu
(BPP-Deplu, 1986 :2). Pada bangsa Jerman muncul ekstremitas bangsa Arya
sebagai bangsa terunggul, sedangkan pada bangsa Yahudi juga berlaku
ekstremitas tersebut melalui pandangan Moses Hess tantang keberadaan
bangsa Yahudi sebagai bangsa yang ditakdirkan merubah dunia dan
merupakan history making people dan mempunyai kelebihan dibandingkan dengan orang Yunani dan Kristen (BPP-Deplu, 1986 : 3).
Gerakan
zionisme juga merupakan reaksi terhadap gerakan anti ras Semit (Yahudi
dan Arab) yang muncul di Eropa (Siti Muti’ah Setiawati (Ed.), 2004 :
208). Adian Husaini memiliki pembahasan yang cukup panjang lebar
mengenai hal tersebut (Lih. Adian Husaini, 2004 : Bab III).
Tiga macam zionisme
Akhir abad ke-19 menyaksikan perkembangan zionisme yang pada umumnya diklasifikasikan ke dalam tiga kelompok yakni zionisme praktis, zionisme politik dan
zionisme kultural. Kelompok pertama menganggap bahwa pembebasan yahudi
dunia dapat dipengaruhi oleh penekanan pada pertanian kolektif Yahudi di
Palestina. Tokoh utamanya adalah Aaron David Gordon (1856-1922).
Adapun
kelompok kedua bercita-cita mendirikan sebuah Negara Yahudi yang
mandiri dan tidak harus berada di tanah Palestina. Leo Pinsker dan
Theodore Herzl pada awalnya berpendirian bahwa Negara Yahudi yang
dicita-citakan tidak mesti berdiri di tanah Palestina, namun dapat juga
di Argentina, Cyprus, Sinai dan Uganda dengan pertimbangan masih
minimnya penduduk di empat Negara tersebut.
Sementara
itu zionisme kelompok terakhir adalah zionisme kultural yang lebih
menekankan pendekatan metafisik terhadap ide zionisme. Mereka
mengedepankan pandangan-pandangan seperti superioritas ras Yahudi di
atas ras-ras lainnya dan mendambakan kebangkitan kembali kultur Yahudi,
penegasan identitas yahudi yang murni dan bersih dari pengaruh asing dan
kebiasaan-kebiasaan diaspora. Dalam pandangan mereka proyek Palestina
terutama dilihat bukan dari nilai politik atau ekonominya, tetapi
sebagai pusat untuk mengembangkan budaya dan élan Yahudi (BPP-Deplu, 1986 : 4-6).
Theodore
Herzl pada akhirnya berhasil mempersatukan ketiga kelompok zionis
tersebut setelah pada tahun 1897 ia mengorganisir terselenggaranya
Kongres Zionis Pertama di Basel, Swiss. Hal ini menandai lahirnya
gerakan Zionis Internasional secara resmi (Siti Muti’ah Setiawati (Ed.),
2004 : 208).
Meski
Herzl merupakan tokoh peletak dasar nasionalisme dan ideology zionisme,
namun tokoh eksekutor sebenernya dari gerakan ini adalah David Ben
Guorion yang justru menekankan tanah Palestina lah yang menjadi tujuan
pendirian Negara bagi bangsa Yahudi (Siti Muti’ah Setiawati (Ed.), 2004 : ibid)
Zionisme
dengan demikian dapat dikatakan sebagai faktor internal bangsa Yahudi
yang mendorong bangsa tersebut merealisasikan gagasan nasionalisme
ekstrim mereka yang pada kenyataannya berseberangan dengan kehendak
bangsa lain (Arab Palestina) penduduk tempat mana dituju bangsa Yahudi.
KONSTELASI POLITIK PASCA PERANG DUNIA I
Bisa
dikatakan bahwa salah satu kejadian yang sangat mempengaruhi konstelasi
Palestina pada awal abad ke-20 adalah meletusnya perang dunia pertama
yang terjadi antara tahun 1914-1919. Pada masa itu kekuatan dunia
terbagi ke dalam dua kelompok besar, kelompok Negara yang digawangi
Jerman dan Turki di satu pihak dan Inggris dan Perancis di pihak
lainnya. Pada masa tersebut Palestina masih berada di bawah Turki,
tetapi pihak Inggris dan Perancis berupaya melucuti kawasan imperium
Turki yang pada masa itu meliputi hampir keseluruhan Timur Tengah
ditambah beberapa Negara Eropa seperti Hongaria dan Bulgaria. Inggris
dan Perancis bermain mata dengan Amir-amir atau penguasa setempat di
berbagai Negara Timur Tengah dengan menjanjikan kemerdekaan bagi pihak
yang mau bekerjasama menentang Turki. Umpamanya, pada tahun 1915, kepada
syarif Hussain diberikan janji jikalau bangsa-bangsa Arab bersedia
berrperang melawan Turki, dan bila pihak sekutu menang, akan diberikan
suatu Negara Arab. Tertarik oleh janji tersebut pada tanggal 5 Juni 1916
Syarif Hussain melancarkan pemberontakan terhadap Turki (BPPMLN-Deplu,
1976 : 5). Perjanjian ini dikenal dengan Perjanjian McMohan-Husayn atau
Husayn-McMohan Correspondence yang secara implicit mencakup janji
kemerdekaan wilayah Palestina (Siti Muti’ah Setiawati (Ed.), 2004 : 209,
bd. Charles D. Smith, 1992 : 47).
Di
samping itu pihak sekutu secara diam-diam mengadakan perjanjian yang
dikenal dengan nama perjanjian Sykes-Picot pada 1916. Inti dari
perjanjian tersebut adalah kemungkinan pembagian ghanimah berupa
daerah-daerah bekas jajahan Turki ke tangan Inggris dan Perancis.
Inggris akan memperoleh daerah Irak dan Transyordan, sedangkan Perancis
akan mengambil alih Libanon dan Siria. Sementara itu posisi Palestina justru diinternasionalisasikan (Siti Muti’ah Setiawati (Ed.), 2004 : 209).
Nampak
sekali adanya inkonsistensi Inggris berkaitan dengan posisi Palestina
yang di satu sisi dijanjikan kemerdekaannya (bagi bangsa Arab) di sisi
lain akan diinternasionalisasikan. Nasib Palestina makin bertambah
runyam ketika Inggris, melalui Mentri Luar Negrinya Arthur James
Balfour, bermain mata dengan pihak Yahudi, melalui Lord Lionel Rothchild
ketua zionis Inggris, mendeklarasikan pemberian national home di tanah
Palestina bagi bangsa Yahudi dalam sebuah deklarasi yang dikenal dengan
deklarasi Balfour (Siti Muti’ah Setiawati (Ed.), 2004 : 210). Dengan
demikian hubungan Arab (Palestina) –Israel memasuki babak baru, masa
yang hampir menjadikan mimpi bangsa Yahudi comes true.
DEKLARASI BALFOUR
Penting untuk ditekankan bahwa pendekatan untuk melucuti kekuatan Negara Pusat (Jerman dkk.) juga dilakukan dengan rayuan terhadap
bangsa Yahudi. Hal ini dapat dimaklumi bukan dari kacamata Yahudi
sebagai kekuatan kecil di Palestina, tetapi kekuatan besar Yahudi di
seluruh Eropa dan Amerika yang pada saat PD I belum terlibat. Sebagaimana diketahui pusat kegiatan zionisme internasional justru berada di Jerman. Bangsa Yahudi sudah
sejak lama memiliki pengaruh yang cukup besar pada bidang media dan
lobi internasional akibat kehidupan diaspora yang sangat lama di samping
proyeksi bangsa Yahudi nantinya diharapkan dapat menjaga kepentingan
Inggris terutama di terusan Suez (Ensiklopedi Tematis Dunia Islam 6,
2002 : 23, bd. BPPMLN-Deplu, 1976 : 6).
Sebenarnya
bukan hanya pihak sekutu yang menaruh perhatian terhadap posisi Yahudi
yang sangat strategis, Turki dan Jerman pada Desember 1918 dan Juli 1918
juga berupaya menarik Yahudi dalam kelompoknya dengan menawarkan suatu
perjanjian yang menjanjikan Palestina untuk masyarakat Yahudi Eropa,
namun dapat dikatakan bahwa tawaran tersebut sudah terlambat karena
sebagian besar bangsa Yahudi sudah terlebih dahulu berorientasi
mendukung pihak sekutu.
Kerjasama sekutu dengan pihak Yahudi ini tergambar dengan lobi Weizmann, seorang Yahudi Inggris, yang berusaha meyakinkan
Pemerintahan Inggris agar membantu gerakan zionisme , guna menarik kaum
Yahudi ke dalam pihak sekutu. Sehingga pada tanggal 2 Nopember 1917
Menteri Luar Negeri Inggris, James Balfour, mengeluarka deklarasi yang
terkenal dengan istilah Balfour Declaration.
Bunyi sebagian deklarasi Balfour (dalam BPP-Deplu, 1986 : 10-11) sebagai berikut :
…”His
Majesty’s Government view with favour the establishment in Palestine of
national home for the Jewish people, and will use best endeavours to
facilitate the achievement of this object, it being clearly understood
that nothing shall be done which may prejudice the civil and religious
rights of existing non-Jewish communities in Palestine, or right and
political status enjoyed by Jewish in any other country”…
Dengan
munculnya deklarasi ini, mimpi-mimpi Yahudi seolah akan menjadi
kenyataan. Lebih jauh deklarasi ini memunculkan reaksi yang sangat keras
dari bangsa Arab yang melihat deklarasi tersebut sebagai ancaman bagi
stabilitas
Pasca
Perang Dunia I dengan kemenangan di pihak sekutu, deklarasi Balfour
diterima oleh semua pihak yang mengikuti konferensi San Remo bulan April
1920. Sejak saat itu pintu imigrasi bangsa Yahudi menuju Palestina
dibuka sangat lebar. Bersamaan dengan itu mengalir pula modal-modal yang
pada gilirannya mempercepat transfer property berupa tanah-tanah milik
bangsa Arab Palestin menjadi miliki bangsa Yahudi. Jumlah imigran
tersebut mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada 1935, misalnya,
jumlah imigran Yahudi asal Jerman mencapai 66.000 orang (Gerald Blake
dkk., tt : 113).
Jelas
sekali dampak deklarasi Balfour dan kemenangan sekutu memberikan
percepatan migrasi besar-besaran bangsa Yahudi dari seluruh penjuru
dunia menuju Palestina. Dengan demikian deklarasi Balfour dapat disebut sebagai fase awal bagi terwujudnya Negara Israel.
PARTISI PALESTINA MELALUI RESOLUSI PBB
Sebenernya
kemenangan sekutu terhadap Turki dan Jerman tidak serta merta
mewujudkan Palestina sebagai Negara merdeka bagi Israel. Hal ini
terbukti dengan jarak yang cukup jauh antara kemenangan sekutu dengan
proklamasi kemerdekaan Israel yang baru terealisasi pada 1948 (paling
tidak ada jarak hampir tiga dekade). Penyebab utama yang menghambat
proklamasi tersebut adalah penentangan pihak Arab. Penyebab lainnya adalah kebiasaan
sekutu bermain mata dengan bangsa Arab karena bagi mereka dukungan
bangsa Arab sangat besar pengaruhnya terutama setelah meletusnya perang
Dunia II pada 1939.
Sebelum
memasuki fase partisi PBB, Komite Tinggi Arab pada 1937 pernah
melakukan pemogokkan besar-besaran, hingga Inggris terpaksa mengirimkan
sebuah komisi penyelidik ke Palestina. Komisi mengusulkan agar Palestina dibagi menjadi tiga daerah yaitu;
1. Negara Yahudi, meliputi 1/3 wilayah Palestina, dengan penduduk 300.000 orang Yahudi dan 270.000 orang Arab;
2. Daerah mandat Inggris, yang meliputi Yalta dan Jerussalem;
3. Negara Arab disatukan dengan Trans Yordan.
Pembagian
tersebut ternyata tidak diterima oleh Kongres Pan-Arab yang mewakili
dunia Arab meskipun Kongres Yahudi sedunia dan Liga Bangsa-Bangsa
menerimanya dengan bersyarat (DPPMLN, Deplu, 1976 : 8).
Pasca
Perang Dunia II Liga Bangsa-Bangsa (LBB) berganti nama menjadi
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB/ United Nations). PBB memberikan
rekomendasi yang termuat dalam resolusi PBB nomor 181 (II) tertanggal 29
Nopember 1947 yang membagi wilayah Palestina menjadi :
1. Negara Palestina (untuk orang Arab Palestina)
2. Negara Israel (untuk orang Yahudi Palestina)
3. Internasionalisasi kota Yerussalem di bawah PBB (DPPMLN-Deplu, 1976 : 9)
Nampak secara sepintas resolusi tersebut merupakan upaya PBB dalam mencapai win win solution.
Pada gilirannya resolusi yang berisi partisi Palestina tersebut
menandai fase baru bagi pembentukkan Negara Israel sekaligus pukulan
telak bagi bangsa-bangsa Arab karena keputusan tersebut dikeluarkan oleh
lembaga internasional sekaliber PBB yang tentu saja memiliki pengaruh
dan dampak besar bagi kelanjutan konflik di Timur Tengah.
PROKLAMASI KEMERDEKAAN ISRAEL
Jika perseteruan antara dua bangsa yakni bangsa Arab Palestina dan bangsa Yahudi dalam memperebutkan wilayah yang sama atau masalah Palestina disebut sebagai faktor utama konflik Arab-Israel, sementara rentetan peristiwa sejak perjanjian Sykes-Picot, Deklarasi Balfour
hingga partisi PBB atas Palestina dianggap sebagai faktor pendukung,
maka peristiwa proklamasi berdirinya Negara Israel pada 14 Mei 1948
tentu merupakan faktor pemicu meletusnya konflik yang hingga kini masih berlangsung dan entah kapan berhenti.
Sebagai
kelanjutan dari terbitnya resolusi PBB nomor 181 (II) tertanggal 29
Nopember 1947 pihak Inggris, sejak resolusi tersebut bergulir, secara
bertahap menarik pasukannya dari Palestina. Akibatnya suasana di
Palestina sermakin mencekam.
Masing-masing pihak baik Yahudi maupun Arab Palestina melancarkan serangan silih berganti. Pihak Inggris yang secara de facto
masih memegang kendali terhadap wilayah Palestina merasa kewalahan
menghadapi situasi seperti itu, sehingga Inggris mengembalikan mandat
lebih cepat dari tenggat waktu yang ditentukan pada tanggal 14 Mei 1948.
Situasi ini dimanfaatkan pihak Yahudi untuk memproklamasikan kemerdekaannya. Dengan demikian berdirilah Negara Israel yang diikuti pengakuan Amerika dan Uni Sovyet terhadap eksistensi Negara baru tersebut.
Peristiwa
terakhir ini merupakan penyulut bom waktu yang sudah sejak lama
tertanam menjadi sebuah ledakan kemarahan besar bangsa-bangsa Arab di
Timur Tengah. Tidak kurang dari Suriah, Libanon, Transyordan, Irak dan
Mesir memobilisasi pasukan perangnya memasuki wilayah Palestina.
Meletuslah Perang Arab-Israel I pada 1948 yang berakhir dengan kekalahan
absolute di pihak Negara-negara Arab.
Setidaknya
pernah ada empat kali perang, tahun 1948, 1956, 1967 dan 1973, sebagai
akibat adanya konflik Arab-Israel. Perang itu tidak hanya melibatkan
Negara-negara Arab yang menjadi tetangga wilayah konflik, seperti Mesir,
Suria, Yordania dan Libanon, tetapi juga melibatkan juga Negara yang
jauh dari wilayah itu seperti Amerika Serikat dan Inggris (M. Riza
Sihbudi dkk., 1993 : 42).
Perang
pada 1956 disebut juga perang Suez, disebabkan rencana Nasser
menasionalisasi Terusan Suez yang pada waktu itu berada dibawah kendali
perusahaan merger Inggris dan Perancis yakni Anglo-French Suez Canal Company. Pada perang ini pihak Israel mendompleng kekuatan Inggris dan Perancis dan pada akhirnya tidak merubah peta wilayah Israel.
Namun
akibat dari perang 1956 adalah penempatan pasukan perdamaian PBB di
semenanjung Sinai yang tentu saja membuat gerah kedua Negara yang
berbatasan yakni Mesir dan Israel. Suasana ini menimbulkan ketergangan
ditambah upaya pengusiran pasukan PBB di Sinai oleh Mesir serta
pembentukan Unified Arab Command yang pada gilirannya menyebabkab Israel mengadakan upaya pre-emptive strikes terhadap
Mesir, Siria, Yordania dan Irak pada selama 6 hari hingga tanggal 5
Juni 1967 (Siti Muti’ah Setiawati (Ed.), 2004 : 213-215). Dalam beberapa
hari perang Israel mampu menduduki wilayah dua kali lebih besar dari
wilayah Israel, yakni seluruh semenanjung Sinai sampai ke Terusan suez,
Jalur Gaza, seluruh West Bank yang sebelumnya berada di bawah Yordan,
Dataran Tinggi Golan milik Suriah, Kepulauan Tiran dan Sonafir milik
Saudi (BPP-Deplu, 1986 : 76).
Adapun
perang 1973 bertepatan dengan hari Yom Kippur atau hari penebusan dosa
bagi orang Yahudi selain juga bertepatan dengan bulan Ramadan. Perang
tersebut tidak membawa konsekuensi apapun pada peta wilayah Yahudi pasca
perluasan 1967.
Masih
ada beberapa perang yang terjadi pasca 1973, namun tulisan ini perlu
diakhiri pada titik ini karena akan terlalu luas. Apalagi bila kita
mempertimbangkan kontinuitas konflik yang masih berlangsung hingga detik
ini.
Epilog
Berdasarkan
uraian sederhana di atas, kiranya tampak jelas betapa rumitnya
persoalan Palestina. Nampak betapa pengaruh eksternal sudah sejak dini
terlibat dimulai dari masuknya Inggris sebagai pemegang mandate,
pembagian (partisi) wilayah oleh PBB, peran negara-negara Arab di
sekelilingnya, hingga pengaruh Uni soviet dan Amerika. Bahkan belakangan
Uni Eropa mengambil andil sebagai penyeimbang kekuatan Amerika saat
ini.
Berlarut-larutnya
masalah Palestina tidak hanya disebabkan faktor eksternal bangsa Arab,
namun juga disebabkan pertikaian internal di antara Negara-negara Arab
yang pada gilirannya senantiasa bertekuk lutut di hadapan Israel.
Konsep
nasionalisme yang melahirkan Negara bangsa bukan menjadi berkah tetapi
menciptakan sekat-sekat primordial yang pada akhirnya mempengaruhi
segala tindakan yang selalu dikalkulasi dengan untung rugi. Beberapa
pangkalan militer yang bercokol di beberapa Negara Arab cukup memberi
testimoni.
Pada akhirnya sikap pesimisme menyeruak ke tengah jiwa-jiwa yang hampir putus asa. Salahkah mereka? Atau Anda?
[*] Mahasiswa SPS UGM Program Studi Kajian Timur Tengah CP : 081575720604
Tidak ada komentar:
Posting Komentar