SASTRA ISLAMI;
MEMBERI KETELADANAN TANPA BERKHOTBAH
Oleh : Fuad Munajat
Sering
kita temui kenyataan-kenyataan yang tidak sesuai dengan harapan. Semua
kebenaran ideal hanya berada dalam pikiran kita, namun kenyataan
menunjukkan kebalikan dari yang seharusnya.
Idealnya
Indonesia menjadi negeri yang paling makmur, paling aman dan sekaligus
paling maju. Alasannya jelas, karena agama Islam menjadi anutan
mayoritas penduduk Indonesia. Kebalikannya juga ideal, ketika kita
menyatakan seharusnya Indonesia tidak mencapai prestasi tertinggi di
bidang korupsi, namun lagi-lagi kita menghadapi kontradiksi yang tidak
berkesudahan.
Mungkin
kita harus mengkreasikan cara baru yang lebih efektif daripada
cara-cara konvensional yang selama ini digunakan para penganjur
kebajikan. Salah satu alternative yang cukup baik, menurut saya, adalah
menggalakkan sastra Islami. Kita tentu mengetahui bahwa seseorang akan
lebih mudah menerima kebenaran kalau kebenaran tersebut dikemas dalam
bentuk yang amat menarik.
Sebenernya
sudah sejak dahulu cara tersebut digunakan, yakni pada saat walisanga
menyebarkan Islam tanpa kekerasan dan menjadi begitu mengakar pada
masyarakat dari berbagai lapisan. Mereka menggunakan seni, yang salah
satunya adalah sastra. Mereka membuat tembang-tembang yang begitu akrab
dengan tradisi lisan yang memang saat itu dominant.
Saya
akan mengutip _secara bebas_ sebuah karya cerpenis terbaik Indonesia,
AA Navis, yang mencoba mengkritik tingkah laku bangsa ini yang cenderung
mengutamakan kesalehan individu ketimbang kesalihan social. Dalam
karyanya yang monumental, Robohnya Surau Kami, AA Navis berkisah :
“Betapa tokoh Sholeh
yang nota bene selalu berbuat kebajikan, taat beribadah bahkan
senantiasa sholat tahajjud setiap malam, tiba-tiba terjegal jalannya
menuju surga. Sholeh yang merasa diperlakukan tidak adil
mengadakan protes keras dan menggalang demonstrasi sesama umat Islam
yang mendapatkan nasib yang serupa. Pada akhirnya Sholeh dkk. berhasil
menghadap Tuhan, lalu terjadilah dialog sebagai berikut :
Sholeh :
Wahai Tuhan Kami Yang Maha Agung, segala puja dan puji bagi Engkau.
Kami adalah penyembah dan pemujimu. Namun sudilah Tuhanku menjelaskan
apa alasan kami dimasukkan ke dalam neraka-Mu.
Tuhan : Bukankah Kalian yang berasal dari Indonesia?
Sholeh : betul sekali Tuhan
Tuhan : Indonesia negeri yang kaya raya itu?
Sholeh : Tidak salah lagi Tuhan. Pasti Malaikat sudah salah memasukkan Kami, Sholehpun mulai berbinar.
Tuhan : Indonesia, negeri yang 3,5 abad dijajah Belanda itu?
Sholeh : Ya, tentu saja. Alangkah celaka sekali Londo keparat itu
Tuhan : Oya, kalian… tentu harus masuk neraka
Seketika Sholeh dkk. terkaget dan sambil mengusap peluh Sholeh berupaya terus mencari keadilan.
Sholeh : apa gerangan yang menyebabkan kami masuk neraka, wahai Tuhan kami?
Tuhan :
Kalian kuanugerahi negeri yang subur tapi kalian tidak mampu
mengelolanya. Kalian lebih mementingkan beribadah menyembahku karena
kalian pikir Aku amat suka dipuji. Sementara kalian melupakan urusan
dunia yang menyebabkan keturunan kalian lemah hingga dijajah. Kalian
tidak patut mendapat surgaku. Masuklah ke neraka!
Jelas
sekali pesan yang ingin disampaikan pengarangnya bahwa sebagai manusia
kita harus mengupayakan keseimbangan antara kehidupan dunia dan akhirat.
Dengan media sastra seperti itu AA Navis berupaya mengingatkan kita
tanpa harus menggurui. Melalui sastra yang memuat nilai-nilai islami
kita disadarkan tanpa merasa canggung. Karena kehadiran sastra dapat
muncul kapan dan di mana saja tanpa suasana formil dan kaku sebagaimana
event-event keagamaan yang tengah marak saat ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar