Relevansi Metode Gramatika Terjemah Pada Pengajaran Bahasa Arab Tingkat Lanjutan
Relevansi Metode Gramatika-Tarjamah
Pada Pengajaran Bahasa Arab Tingkat Lanjutan
Oleh : Fuad Munajat, S. S.
Abstrak
Pengajaran
bahasa Arab di tingkat lanjutan terutama pada PTAI masih terkendala
dengan berbagai kompleks persoalan. Output pembelajaran, dalam hal ini
lulusan PTAI, masih dihinggapi kenyataan minimnya penguasaan mereka
terhadap bahasa Arab yang nota bene salah satu pilar terpenting dalam
rangka kajian Islam. Kompleks persoalan yang meliputi masalah orientasi
pengajaran bahasa Arab dan quo vadis problem linguistik serta
non-linguistik, meniscayakan perlunya peninjauan kembali berbagai unsur
tersebut. Kecuali itu, metode gramatika-terjemah yang selama ini menjadi
idola dalam praktek pengajaran perlu ditelusuri sisi kelemahan dan
kelebihannya untuk selanjutnya mencari alternatif metode dalam
pengajaran bahasa Arab
Kata kunci : metode gramatika terjemah, pengajaran bahasa Arab, tingkat lanjutan
Pendahuluan
Kemampuan
bahasa Arab diakui merupakan piranti kajian Islam yang sangat penting.
Akan tetapi kenyataannya kemampuan bahasa Arab mahasiswa PTAIN dan PTAIS
masih sangat memprihatinkan. Hal ini dapat kita lihat pada kelemahan
mereka dalam memahami dan mengkaji wacana keislaman yang
mayoritas sumber aslinya berbahasa Arab (www.ditpertais.net/swara).
Kelemahan penguasaan bahasa Arab sebagian besar disebabkan aspek
pembelajarannya yang hingga kini diliputi berbagai problematika yang
menggelayutinya.
Pengajaran
bahasa Arab senantiasa dihadapkan pada berbagai situasi kompleks yang
pada satu sisi membutuhkan perhatian pada bagian-bagian kompleksitas
secara kasuistis tetapi di sisi lain harus dilihat secara keseluruhan.
Situasi kompleks dimaksud adalah adanya berbagai aspek dalam pengajaran
bahasa Arab yang harus disoroti secara bersama-sama. Di antara
aspek-aspek yang mempengaruhi keberhasilan pengajaran bahasa Arab adalah
aspek tujuan pengajaran bahasa Arab (orientasi), aspek problematika
yang dapat dirinci menjadi problematika linguistik, problematika
metodologis, dan problematika sosio kultural.
Tulisan
ini hanya terfokus pada problema metodologis dan lebih khusus pada
salah satu metode pengajaran yang paling banyak digunakan pada
pengajaran bahasa Arab di tingkat lanjutan (baca : Perguruan tinggi)
yakni metode gramatika-terjemah. Pemokusan pembahasan terhadap salah
satu metode pengajaran bahasa Arab tidak serta merta mengabaikan
perspektif yang lebih luas.
Hal
ini karena dalam perspektif makro aspek orientasi pengajaran,
kendala-kendala baik linguistik maupun non-linguistik menjadi satu
kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Dengan demikian, dalam tulisan ini
secara berturut-turut dibahas orientasi pengajaran bahasa Arab,
problematika pengajaran bahasa Arab, metode gramatika-terjemahan dan
alternatif metode dalam pengajaran bahasa Arab tingkat lanjutan.
Orientasi pengajaran bahasa Arab
Keberhasilan
proses pembelajaran bahasa Arab ditentukan salah satunya oleh
sinergitas antara orientasi pengajaran dengan kompleks variabel penentu
yang lain. Pengajaran bahasa Arab pada dasarnya diorientasikan pada
empat hal (Hidayat : 2001) antara lain sebagai berikut.
1. Berorientasi kepada tujuan PTAI
Khusus
bagi mahasiswa S1 paling tidak diharapkan agar mampu memahami
kitab-kitab Arab yang digunakan dalam tatap muka dan buku-buku maraji’ sesuai dengan jurusan dan fakultasnya masing-masing. Adapun tujuan pengajaran bahasa Arab yang bersifat umum adalah :
- Untuk digunakan sebagai alat komunikasi
- Untuk digunakan sebagai alat pembantu keahlian lain (supplementary)
- Untuk membina ahli bahasa Arab
- Untuk digunakan sebagai alat pembantu teknik (vokasional)
2. Berorientasi kepada karakteristik bahasa Arab
Sebagai
salah satu rumpun bahasa semit, bahasa Arab memiliki karakteristik yang
sangat berbeda dengan bahasa Indonesia atau bahasa-bahasa lain di luar
bahasa-bahasa yang serumpun dengan bahasa Arab. Perbedaan karakter
tersebut tentu saja melahirkan problem-problem dalam pengajarannya. Di
antara karakteristik bahasa Arab adalah sebagai berikut :
- memiliki kosa kata (mufradat) yang sangat banyak disamping adanya kata-kata yang sinonim (mutaradif)
- memiliki sistem derivasi yang khas dan dikenal dengan istilah isytiqaq
- memiliki sistem i’rab (perubahan akhir kata)
- memiliki sistem gramatika
- bahasa Arab mengharuskan pemahaman terlebih dahulu sebelum membacanya (terkait dengan kemahiran membaca). Dengan kalimat lain “seseorang harus lebih dahulu mengetahui konteks sebelum membaca teks”.
3. Berorientasi kepada peserta didik
Pada
umumnya mahasiswa PTAI berasal dari pesantren-pesantren atau sekolah
Menengah Umum Islam (Madrasah Aliyah). Oleh karena itu sebagian besar
sudah memiliki dasar pengetahuan bahasa Arab. Dalam pengajarannya tidak
diperlukan lagi pemberian pengetahuan bahasa Arab dari nol. Meskipun
demikian secara individual kemampuan dasar mereka berbeda-beda sehingga
perlu diadakan placement test.
4. Berorientasi kepada hakikat pembelajaran bahasa
Berdasarkan
empat orientasi tersebut tampak adanya pendekatan maupun metode
pengajaran yang seharusnya berbeda antara satu orientasi dengan
orientasi yang lainnya. Pengajaran bahasa Arab pada tingkat lanjutan
juga niscaya mempertimbangkan orientasi-orientasi tersebut.
Bagi
mahasiswa pada fakultas Adab orientasi pengajarannya tentu berbeda
dengan mahasiswa tingkat lanjutan dari fakultas non-Adab. Sebagai
ilustrasi mahasiswa fakultas Adab memiliki orientasi pembelajaran bahasa
Arab untuk menjadi ahli bahasa Arab. Lain halnya dengan mahasiswa
fakultas lain yang diorientasikan untuk digunakan sebagai alat pembantu
keahlian lain (supplementary) atau sebagai alat pembantu teknik
(vokasional).
Problematika pengajaran bahasa Arab di Indonesia
Problematika
pengajaran bahasa Arab di Indonesia pada dasarnya dapat dipilah ke
dalam dua kategori besar yakni problem linguistik dan problem
non-lingustik yang dapat diperinci lagi menjadi problem metodologis dan
problem sosiologis (Lihat Umam, 1999 : 5-11, bdk. Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga : 61-76, selanjutnya disebut Pokja).
1) Problematika linguistik
Problematika
linguistik merupakan hambatan yang terjadi dalam pengajaran bahasa Arab
yang disebabkan perbedaan karakteristik internal linguistik bahasa Arab
itu sendiri dibandingkan dengan bahasa Indonesia. Di antara karakter
universal bahasa Arab sebagaimana bahasa-bahasa yang lain adalah sebagai
berikut
- Bahasa Arab memiliki gaya bahasa yang beragam
- Bahasa Arab dapat diekspresikan baik secara lisan maupun tulisan
- Bahasa Arab memiliki sistem, dan aturannya yang spesifik
- Bahasa Arab memiliki sifat yang arbitrer
- Bahasa Arab selalu berkembang, produktif dan kreatif
Kecuali
itu, bahasa Arab juga memiliki karakteristik yang spesifik dan hanya
dimilikinya. Karakter tersebut khas terdapat pada bahasa Arab di
antaranya adalah
- Bahasa Arab memiliki sistem bunyi yang khas
- Bahasa Arab memiliki sistem tulisan yang khas
- Bahasa Arab memiliki struktur kata yang bisa berubah dan berproduksi
- Bahasa Arab memiliki sistem I'rab
- Bahasa Arab sangat menekankan konformitas antar unsurnya
- Bahasa Arab memiliki makna kiasan yang sangat kaya
- Makna kosa kata bahasa Arab sering berbeda antara makna kamus dengan makna yang dikehendaki dalam konteks kalimat tertentu
2) Problem metodologis
- Problem tujuan; tujuan pengajaran bahasa Arab baik pada tingkat dasar, menengah maupun lanjutan sebagaimana tercantum dalam kurikulum masing-masing biasanya mencantumkan tujuan yang kelewat ideal. Tujuan tersebut mengeksplisitkan penguasaan siswa/mahasiswa _yang ironisnya belum pernah tercapai_ terhadap empat ketrampilan dasar berbahasa
- Problem materi kurikulum; problem ini merupakan salah satu pendukung kegagalan tujuan pengajaran karena materi kurikulum tidak mencerminkan penjabaran dari tujuan yang ditetapkan.
- Problem alokasi waktu; perguruan tinggi hanya menyediakan 6 Sks bagi seluruh mahasiswa PTAI hal mana jauh dari mencukupi
- Problem tenaga pengajar; kualifikasi pengajar bahasa Arab di PTAI masih belum memadai. Sebagian besar diisi oleh tamatan S1 Bahasa dan Sastra Arab (BSA) atau Pendidikan Bahasa Arab (PBA) dan lulusan Timur Tengah yang sebagian besar bukan membidangi bahasa Arab meskipun ada yang memiliki core competence bahasa Arab.
- Problem siswa/ mahasiswa; input mahasiswa PTAI masih didominasi lulusan Madrasah Aliyah (MA) dan SMU sederajat yang masih memerlukan perhatian khusus
- Problem metode; metode pengajaran bahasa Arab pada dasarnya telah berkembang pesat tetapi praktik di lapangan menunjukkan belum adanya progres yang berarti.
- Problem media pengajaran; aspek ini masih merupakan aspek yang paling tertinggal dibandingkan negara lain.
- Problem evaluasi pembelajaran; penekanan pada pengukuran sisi kognitif siswa masih dominan (Lihat Pokja : 61-76).
3) Problem sosiologis
- Kebijakan politik bahasa pemerintah
- Sikap masyarakat terhadap kedudukan bahasa Arab
- Lingkungan sekitar.
Dengan
demikian kendala-kendala ini muncul antara lain akibat
perbedaan-perbedaan baik dari karakteristik bahasa asing itu sendiri
maupun latar belakang budaya. Sebagai contoh ungkapan sabaqa as-sayfu al-'adzala
dalam bahasa Arab tidak dapat diartikan secara harfiah sebagai 'pedang
telah mendahului celaan' tetapi lebih tepat diartikan sebagai 'nasi
sudah menjadi bubur'. Hal ini mengingat adanya perbedaan sosio-kultural
antara bangsa Arab yang kerap melakukan perburuan atau penggunaan pedang
dengan bangsa Indonesia yang tidak demikian. (Umam,1999 : 11).
Oleh
karena itu dibutuhkan upaya-upaya yang cukup keras untuk memecahkan
problema tersebut. Khusus di lingkungan PTAI, masih terlihat adanya
kesenjangan antara tujuan (visi dan misi pengajaran bahasa Arab) dengan
kenyataan di lapangan. Diakui bahwa sebagian besar mahasiswa PTAI belum
memiliki kemampuan berbahasa Arab sebagaimana diharapkan.
Berbagai
metode dan pendekatan dalam pengajaran bahasa Arab seperti metode
terjemah-gramatika (Grammar-translation method), metode langsung (Direct
method), metode mim-mem (Mim-mem method) dan pendekatan baik
behavioristik, mentalistik, komunikatif pada akhirnya hanya dapat
diterapkan pada kondisi dan situasi yang sesuai. Tentu saja hal ini
masih ditambah dengan pertimbangan orientasi yang ingin dicapai dalam
pelaksanaan pengajaran bahasa Arab tersebut.
Khusus
metode gramatika-terjemah akan dibicarakan sebentar lagi karena metode
ini masih digunakan secara intensif oleh lembaga-lembaga pengajaran
bahasa Arab tingkat lanjutan secara umum dan perguruan tinggi secara
khusus. Pembicaraan difokuskan pada hakikat metode gramatika-terjemah,
kelebihan dan kelemahannya, penelusuran terhadap potensinya sehingga
dapat bertahan sebagai metode yang mapan serta kemungkinan
pengembangannya dalam arti penggabungannya dengan metode lain dalam
memenuhi fungsinya.
Metode Gramatika-Terjemah (Thariqah Al-Qawa'id wa At-Tarjamah)
Pada
dasarnya metode gramatika-terjemah merupakan metode yang menekankan
pada pemahaman tata bahasa untuk mencapai ketrampilan membaca, menulis
dan menerjemah (Radliyah Zaenuddin, dkk., 2005 : 37-38). Metode
gramatika terjemah ini merupakan kombinasi metode gramatika dan metode
terjemah (Sumardi, 1975 : 37) yakni yang memulai cara pengajaran dengan
menghafal aturan-aturan tata bahasa (rule of grammar) kemudian menyusun
daftar kata dan menerjemahkan kalimat demi kalimat yang terdapat dalam
wacana atau bahan bacaan (Team Penyusun, 1975 : 194).
Metode
ini bersandarkan pada suatu asumsi, bahwa logika semesta merupakan
dasar semua bahasa di dunia dan tata bahasa, dalam pandangan metode ini,
adalah bagian dari filsafat dan logika tersebut. Belajar bahasa dengan
demikian dapat memperkuat kemampuan berpikir logis dan memecahkan
masalah. Para peserta didik didorong untuk menghafal teks-teks klasik
berbahasa asing dan terjemahannya, terutama teks yang bernilai sastra
tinggi, sehingga diharapkan dapat menghasilkan output yang berbudaya
tinggi dan memiliki daya intelegensia yang terlatih dalam memahami
teks-teks klasik, walaupun dalam teks itu seringkali terdapat struktur
kalimat yang rumit dan kosa kata atau ungkapan yang sudah tidak terpakai
lagi.
Di
antara ciri-ciri khas metode ini adalah (1) Perhatian yang mendalam
pada ketrampilan membaca, menulis dan menerjemah, kurang memperhatiakan
aspek menyimak dan berbicara. (2) Menggunakan bahasa Ibu sebagai bahasa
pengantar dalam kegiatan belajar mengajar, (3) Memperhatikan hukum-hukum
nahwu, (4) Basis pembelajarannya adalah penghafalan kaidah tata bahasa
dan kosa kata, kemudian penerjemahan secara harfiah dari bahasa target
ke bahasa pelajar dan sebaliknya, dan (5) Peran pendidik dalam proses
belajar mengajar lebih aktif daripada peserta didik yang senantiasa
menerima materi secara pasif.
Metode
ini sering menerima kritik karena tidak memperdalam bahasa sebagai
sebuah ketrampilan, karena ia melalaikan ketrampilan bicara dan
menyimak. Namun ia tetap bernilai sebagai metode, tergantung pada
penekanan dari tujuan pembelajarannya sendiri (baca : orientasi).
Di
antara kelebihan dari metode ini adalah ia dapat memperkuat kemampuan
para peserta didik dalam mengingat, sehingga mereka dapat menguasai
dalam arti hafal di luar kepala kaidah-kaidah tata bahasa,
karakteristiknya, serta isi detail bahan bacaan yang dipelajarinya. Di
samping tentu saja metode ini dapat dilaksanakan dalam kelas besar dan
tidak menuntut interaksi aktif dari peserta didik (Radliyah Zaenuddin,
dkk., 2005 : 37-38).
Asal
usul metode ini dapat dirujuk ke abad pertengahan (abad ke-15) ketika
banyak sekolah dan universitas di Eropa mengharuskan siswanya
mempelajari bahasa Latin guna mempelajari teks-teks klasik. Namun nama
metode ini baru dikenal pada abad ke-19. Metode ini juga banyak
digunakan untuk pengajaran bahasa Arab, baik di negara-negara Arab
sendiri maupun di negara-negara Islam termasuk Indonesia.
Dengan demikian dapat disebutkan bahwa metode ini mempunyai beberapa karakteristik antara lain
1) Mempelajari
bahasa asing bertujuan agar seseorang mampu membaca buku atau naskah
dalam bahasa target, seperti kitab-kitab klasik berbahasa Arab.
2) Materi
pelajaran terdiri atas buku tata bahasa, kamus dan teks bacaan yang
berupa karya sastra klasik atau kitab keagamaan klasik.
3) Tata bahasa disajikan secara deduktif, yakni dimulai dengan penyajian kaidah diikuti dengan contoh-contoh.
4) Kosa kata diajarkan dalam bentuk kamus dwibahasa, atau daftar kosa kata beserta terjemahannya.
5) Proses
pembelajarannya sangat menekankan penghafalan kaidah bahasa dan kosa
kata, kemudian penerjemahan harfiah dari bahasa sasaran ke bahasa siswa
atau sebaliknya.
6) Bahasa ibu digunakan sebagai bahasa pengantar.
7) Peran guru sangat aktif sebagai penyaji materi, sementara siswa berperan pasif sebagai penerima materi.
Di antara kelebihan metode ini adalah
1) Siswa menguasai dalam arti menghafal di luar kepala kaidah atau tata bahasa dari bahasa yang dipelajarinya.
2) Siswa memahami bahan bacaan yang dipelajarinya secara mendetail dan mampu menerjemahkannya.
3) Siswa memahami karakteristik bahasa sasaran secara teoretis dan dapat membandingkannya dengan karakteristik bahasanya sendiri.
4) Metode ini memperkuat kemampuan siswa dalam mengingat dan menghafal.
5) Metode ini bisa diterapkan dalam kelas besar dan tidak menuntut kemampuan guru yang ideal.
Sedangkan kelemahan metode ini antara lain
1) Metode ini lebih banyak mengajarkan tentang bahasa bukan mengajarkan kemahiran berbahasa.
2) Metode ini hanya menekankan kemahiran membaca, sedangkan tiga kemahiran bahasa yang lain diabaikan.
3) Terjemahan
harfiah sering mengacaukan makna kalimat dalam konteks yang luas, dan
hasil terjemahannya tidak lazim dalam citarasa bahasa ibu.
4) Siswa
hanya mengenal satu ragam bahasa sasaran, yaitu ragam bahasa tulis
klasik, sedangkan ragam bahasa tulis modern dan bahasa percakapan tidak
diketahui.
5) Kosa
kata, struktur dan ungkapan yang dipelajari siswa mungkin sudah tidak
terpakai lagi atau dipakai dalam arti yang berbeda dalam bahasa modern.
6) Disebabkan otak siswa dipenuhi dengan qawa'id, maka tidak tersisa lagi tempat untuk ekspresi dan kreasi bahasa. (Pokja, 2006 : 100-2).
Meskipun
terdapat beberapa kelemahan mendasar yang inheren dalamnya, metode ini
dianggap masih cocok digunakan terutama bagi pelajar tingkat lanjutan
yang telah memiliki bekal yang cukup dari tingkat sebelumnya (dasar dan
menengah).
Alternatif pengembangan metode gramatika-tarjamah
Metode
gramatika-terjemah dengan segala kelebihan dan kekurangannya masih
menjadi pilihan utama sebagian besar pengajar bahasa Arab. Hal ini perlu
dicermati secara seksama mengingat sebagaimana informasi Swara ditpertais yang mensinyalir pengajaran bahasa Arab di perguruan tinggi Islam (PTAIN dan PTAIS) telah gagal.
Secara
tidak langsung kegagalan tersebut juga dapat ditimpakan kepada metode
yang selama ini digunakan secara intensif yakni metode
gramatika-terjemah. Permasalahannya bukan terdapat pada hakikat metode
gramatika-terjemah itu sendiri tetapi lebih disebabkan belum adanya
sinergitas antara orientasi, quo vadis problematika dan metode yang
digunakan. Sinergitas menjadi kata kunci dalam persoalan ini.
Ketidakhadirannya meniscayakan kekurangan pada salah satu bahkan
keseluruhan penopang keberhasilan pengajaran bahasa Arab.
Kemungkinan
penggabungan metode gramatika-terjemah dengan metode lain menjadi suatu
hal yang niscaya. Hal ini karena dalam pembelajaran bahasa Arab para
pengajar tidak mesti berpegang teguh pada satu metode, tetapi mereka
lebih memilih metode yang relevan yang sesuai dengan sifat materi yang
diajarkan. Metode yang dapat digunakan sebagai pelengkap dari metode
gramatika-terjemah, adalah metode langsung (direct method)
(www.ditpertais.net/swara).
Pemilihan
metode langsung (direct method) sebagai pelengkap _atau secara
bergantian sebagai metode pokok dilihat dari orientasi pengajarannya_
didasarkan pertimbangan kelemahan metode gramatika-terjemah yang terlalu
mengabaikan sisi ketrampilan yang salah satunya dapat dipenuhi metode
langsung (direct method).
Dengan
demikian seorang pengajar masih dapat mempertimbangkan penggunaan
metode gramatika-terjemah yang divariasikan dengan metode langsung.
Dalam hai ini ada beberapa alasan masih dimungkinkannya penggunaan
metode gramatika-terjemah. Alasan tersebut sebagai berikut
(1) Berdasarkan
kenyataan di lapangan bahwa rasio mahasiswa : dosen pada sebagian besar
PTAI masih belum ideal. Konsekuensinya kelas besar menjadi sebuah
keniscayaan,
(2) Jumlah
Sks yang diperuntukan pada seluruh fakultas atau jurusan hanya 6 Sks.
Jumlah tersebut masih jauh dari cukup jika dibandingkan tujuan ideal
pengajaran yang menghendaki pengusaan empat ketrampilan berbahasa
mendengar, berbicara, membaca dan menulis.
(3) Input
mahasiswa yang beraneka ragam menyulitkan penentuan metode
pengajarannya. Dalam hal ini placement test mungkin dapat mengisi celah
tersebut tetapi metode lain di luar metode gramatika-terjemah
membutuhkan homogenitas kelas hal mana dapat diantisipasi metode
gramatika-terjemah dengan sedikit modifikasi materi ajar.
(4) Pemaduan
metode gramatika-terjemah dengan metode langsung akan menutupi
kelemahan metode gramatika-terjemah dalam pemenuhan 4 kemahiran
berbahasa.
Keempat argumen di atas dapat dijadikan penguat dalam pemilihan metode gramatika-terjemah yang
divariasikan bersama metode langsung dengan catatan pengajaran di
tingkat lanjutan tetap memperhatikan orientasi yang dituju.
Referensi
Hidayat, H.D., “Visi, Misi dan Orientasi Pengajaran Bahasa Arab di IAIN,” dalam majalah Didaktika Keislaman vol. 3 No. 6, Mei 2001
Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga, Metodologi Pembelajaran Bahasa Arab, Yogyakarta, 2006
Radliyah Zaenuddin, Metodologi dan Strategi Alternatif Pembelajaran Bahasa Arab, Pustaka Rihlah Group, Cirebon, 2005
Sumardi, Muljanto, Pengajaran Bahasa Asing; Sebuah Tinjauan dari Segi Metodologi, Bulan Bintang, Jakarta, cet ke-2, 1975
Team Penyusun Buku Pedoman Bahasa Arab Dirjen Bimas Islam, Pedoman Pengajaran Bahasa Arab pada Perguruan Tinggi Agama Islam/IAIN, Jakarta, 1976
Umam, Chatibul, “Problematika Pengajaran Bahasa Arab di Indonesia,” dalam majalah Al-Turas, No. 08, Fak. Adab IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 1999
"Laporan Dari Universitas Leipzig Jerman", www.ditpertais.net/swara, diunduh pada 9 Nopember 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar