Filologi dan Khasanah Pengetahuan Islam
Oleh : Fuad Munajat
1. Pendahuluan
Fenomena
Islam di Indonesia merupakan suatu hal yang telah menarik perhatian
para ahli terutama dari Barat untuk mengkajinya. Sudah sejak lama para
Orientalis (para ahli ketimuran) mengamati fenomena tersebut dan dari
tangan mereka lahir karya-karya yang tak terhitung jumlahnya. Aspek yang
dikaji mereka pun sangat beragam meliputi hamper seluruh sisi kehidupan
mulai dari bahasa, agama, sastra, sejarah dan lain sebagainya.
Salah
satu sarana yang digunakan dalam menggali informasi tersebut adalah
naskah-naskah kuna (dalam tulisan ini saya menggunakan kata-kata kuna
dan lama dalam pengertian yang sama). Hal ini tidak mengherankan
lantaran naskah-naskah tersebut memang menyimpan sejumlah informasi yang
berkaitan dengan segala aspek kehidupan pada saat naskah tersebut
ditulis.
Persoalan
muncul ketika naskah-naskah lama dimaksud tidak bisa digunakan secara
langsung akibat adanya perbedaan penggunaan idiom yang tidak lagi
dikenal pada masa ini. Di samping itu sejumlah naskah terkadang sudah
tidak dalam kondisi prima baik karena kerusakan tinta, kertas maupun
sebab usia yang tidak mungkin dihindari.
Mengingat
pentingnya informasi yang terkandung dalam naskah-naskah lama
diperlukan upaya peningkatan kajian yang mengkhususkan diri pada
naskah-naskah tersebut. Kajian yang dimaksud adalah kajian Filologi.
Kajian ini sebenernya telah lama digunakan sarjana-sarjana Barat dalam
menggali khasanah peninggalan masa lampau. Hanya saja perkembangan
kajian ini dirasakan agak berjalan di tempat.
Beberapa
kendala yang seringkali menjadi penghambat kajian semacam ini antara
lain karena ketidakadaan tenaga ahli atau peneliti yang cukup sabar menggeluti bidang ini dan dibarengi fakta adanya sejumlah besar naskah-naskah lama yang sudah sangat menanti sentuhan pencinta naskah.
Selama
ini pihak yang sangat menaruh perhatian pada naskah lama adalah mereka
yang berasal dari luar Indonesia, terutama Eropa dan lebih khusus lagi
Belanda. Hal ini tidak terlalu mengherankan mengingat Belanda memiliki
hubungan yang sangat lama dengan Indonesia. Sebagai Negara penjajah
Belanda memiliki koleksi naskah nusantara yang jumlahnya tidak terhitung
dan bisa jadi lebih lengkap dari koleksi milik Indonesia sendiri.
Selain
Belanda, Inggris juga memiliki koleksi naskah nusantara yang cukup
besar menilik peran Gubernur Jendralnya, Raffles, yang selain seorang
pejabat pemerintahan ternyata juga merupakan seorang ilmuan. Di samping
dua Negara di atas masih ada Negara-negara lain seperti Jerman,
Perancis, Rusia dan Amerika Serikat (Henry Chambert-Loir, 1999 : 8-9).
Kenyataan
ini tentu memilukan karena naskah-naskah lama yang bisa dianalogikan
sebagai harta karun bangsa ini ternyata tersimpan secara apik dan dalam
jumlah yang sangat besar di luar negeri. Semakin memilukan lagi manakala
kita mendapatkan kenyataan yang kedua bahwa naskah-naskah lama yang
masih berada di Indonesia seringkali diselundupkan ke luar negeri oleh
tangan-tangan jahil yang hanya menginginkan keuntungan pribadi.
Hal ini ditambah lagi kepiluan lanjutan pada saat kita mengetahui bahwa
naskah-naskah yang bisa diselamatkan dan sekarang tersimpan di
museum-musium ataupun perpustakaan baik nasional maupun daerah, belum
mendapatkan sentuhan hangat dari bangsa pemiliknya sendiri, bangsa Indonesia. Tentu sangat ironis.
2. Filologi di Nusantara
Secara harfiah filologi berasal dari dua kata Yunani philos dan logos.
Kata pertama berarti ‘teman’ sedangkan kata yang kedua berarti
‘pembicaraan’ atau ‘ilmu’, sehingga tidak salah kalau secara sederhana
filologi memiliki konotasi yang kurang lebih sebagai ‘senang berbicara’
atau ‘senang belajar’, ‘senang kepada tulisan-tulisan’ dan kemudian
menjadi ‘senang kepada tulisan-tulisan yang bernilai tinggi’ (Baroroh
Baried dkk., 1994 :2).
Sementara
itu kata filologi secara istilah digunakan sebagai penyebutan untuk
keahlian yang diperlukan untuk mengkaji peninggalan tulisan yang berasal
dari kurun waktu yang telah lama. Sebagai istilah, kata filologi
pertama kali digunakan di Iskandariyah pada abad ketiga sebelum
masehi(Baried dkk., ibid).
Pada
masa itu Erastothenes (Abad ke-3 SM) mencoba mengkaji kembali
naskah-naskah yang berasal dari abad ke delapan sebelum masehi. Tentu
saja hal ini mendapatkan kesulitan yang luar biasa dikarenakan bahasa
yang dipergunakan pada naskah-naskah tersebut sudah tidak lagi digunakan
pada masa Erastothenes. Untuk tujuan tersebut dibutuhkan teknik-teknik atau
cara-cara tertentu baik melalui penelusuran maupun peerbandingan
naskah-naskah yang pada akhirnya disebut dengan metode filologi.
Paling
tidak, ada beberapa faktor yang mendorong lahirnya disiplin filologi
sebagaimana disebutkan Baroroh Baried dkk. (1994 : 2) sebagai berikut :
a. Munculnya informasi tentang masa lampau di dalam sejumlah naskah atau karya tulisan .
b. Anggapan adanya nilai-nilai yang terkandung dalam peninggalan tulisan masa lampau yang masih relevan dengan kehidupan masa kini.
c. Kondisi fisik dan substansi materi informasi akibat rentang waktu yang panjang.
d. Perubahan latar belakang budaya antara masa lalu dan masa sekarang
e. Keperluan pemerolehan pemahaman yang lebih tepat dan akurat.
Penelitian
naskah kuno Nusantara pertama kali dilakukan justru oleh para penginjil
karena kepentingan penerjemahan Bibel ke dalam bahasa Melayu. Untuk itu
dengan sendirinya dibutuhkan pemahaman bahasa yang menjadi tujuan
penerjemahan tersebut. Bisa dikatakan perkembangan selanjutnya
memperlihatkan adanya keinginan untuk mengembangkan sayap penelitian
naskah yang pada awalnya untuk kepentingan misionaris itu bergeser
menuju penerbitan karya-karya lainnya dalam hal ini karya nusantara
untuk tujuan pengenalan.
Berdasarkan proses yang disebut terakhir inilah, muncul karya-karya terbitan naskah pertama seperti Brata-Joeda oleh Cohen Stuart (1860), Ramayana Kakawin oleh Kern (1900) Nagarakrtagama oleh Brandes (1902), Brahmanda Purana oleh Gonda (1932), Het Bhomakawya oleh Teew (1946), Adat Atjeh oleh Drewes dan Voorhove (1958), Java in the 14th Century (Pigeud, 1960), Asraar al-Insan fi Ma’rifa Al-Ruh wal-Rahman (Tudjiman,1960), Hikayat Bandjar (Ras, 1968) dan lain sebagainya (Lihat Baroroh Baried dkk., 1994 :71-74).
Nampak
bahwa perhatian terhadap naskah-naskah bermuatan Islam masih sangat
sedikit apalagi mengingat cakupan area yang menjadi wadah sangat besar.
Wadah yang dimaksud adalah berbagai bahasa daerah yang sangat akrab
dengan muatan Islam seperti bahasa Bugis, Jawa, Sunda dan tentu saja
Melayu bahkan bahasa Arab. Di samping itu dapat dikedepankan wadah genre penulisan naskah lama seperti hikayat, hikayat petualangan ajaib, babat , syair dan lain sebagainya.
Lebih
jauh berkaitan dengan penelitian naskah kuna terdapat dua aliran yang
penting untuk diketahui. Pengetahuan akan kedua aliran tersebut dapat
membantu kita memahami berbagai karya filologis yang telah dihasilkan. Pertama,
aliran yang yang menganggap bahwa kesalahan dan penyimpangan dalam
penyalinan atau penurunan naskah satu kepada naskah lainnya sebagai
sesuatu yang negatif. Kedua, aliran yang menganggap persoalan
sebagaimana tersebut di item pertama sebagai sebuah kreativitas yang
tidak bernilai negatif. Aliran yang pertama merupakan aliran tradisional
sedangkan yang terakhir dapat disebut sebagai aliran modern.
Aliran
tradisional merupakan aliran yang pertama kali muncul, yakni semenjak
masa Eratosthenes yang lebih menekankan penelusuran asal mula teks. Bagi
aliran tersebut yang terpenting adalah bagaimana mencari teks mula atau
teks yang mendekati teks mula. Sedangkan aliran yang kedua lebih
menekankan penyimpangan atau variasi sebagai sebuah kreativitas. Aliran
yang kedua memberi arah baru dan sekaligus kegairah tersendiri khususnya
bagi pengkaji naskah lama Nusantara yang salah satu karakteristiknya
adalah situasi bahasa yang berbeda dengan yang pernah dialami oleh
naskah manapun baik Iskandariyah, Romawi dan Latin kuno. Pada yang
pertama bahasa yang disalin dari naskah satu kepada naskah beikutnya
masih hidup atau dengan kata lain bahasa yang ada pada naskah yang
disalin adalah tidak lain dari bahasa si penyalin. Sementara pada
situasi yang kedua bahasa yang disalin sudah tidak dikenal lagi atau
bisa dikatakan sebagai bahasa yang telah mati.
Karakter
lain dari naskah nusantara yang sebenarnya merupakan konsekuensi dari
karakter pertama tadi adalah keberadaan penyalin sebagai pengarang kedua
sehingga muncul istilah co-author. Kenyataan seperti ini tentu
membawa implikasi metodologis dalam mengkaji naskah-naskah lama.
Umumnya, sebelum adanya pandangan modern para peneliti lebih menekankan
pada pencarian asal mula teks sedangkan setelah munculnya pandangan
modern terutama dipengaruhi pemikiran Kratz , para peneliti mulai
menganggap variasi sebagai bentuk kreativitas sehingga penekanan lebih
pada fungsi yang dimainkan sebuah teks dalam kaitannya dengan konteks
masa penyalinannya (Chamamah, 1991 :12-13).
3. Keragaman kandungan naskah dan eksistensi naskah Arab Nusantara
Berdasarkan
data yang tercatat, naskah tulisan tangan yang dimilkiki bangsa
Indonesia tidak kurang dari 5000 naskah dengan 800 teks yang terdapat di
seantero jagat (Baroroh Baried dkk., 1994 : 9). Adapun isi atau
kandungan teksnya berkisar pada beberapa aspek kehidupan antara lain
sejarah, hukum, adap istiadat, kehidupan sosial, obat-obatan, kehidupan
beragama, filsafat, moral dan lain sebagainya.
Sebenarnya
kalau kita ingin memperinci kandungan naskah tersebut kita dapat
memasukkan aspek lainnya seperti bahasa (gramatika Arab), Tafsir, fikih
dan sederet karya mistik Islam (tasawuf).
Beberapa judul naskah dapat memberikan gambaran kandungan tersebut antara lain sebagai berikut :
a. Hikayat Nabi Yusuf
b. Hikayat Nuh
c. Hikayat Muhammad Hanafiyyah
d. Hikayat Ibrahim bin Adzam
e. Bustanussalatin
f. Siratal Mustaqim, dan lain sebagainya
Beberapa
judul yang disebut di atas dengan jelas memperlihatkan muatan
nilai-nilai Islam yang pada saat itu memang sangat dominan. Meskipun
demikian hal yang patut dicermati adalah banyaknya karya dalam bentuk
atau memakai judul Hikayat menjukkan betapa dunia sastra pada masa itu digunakan secara efektif dan tepat sasaran sebagai bagian dari dakwah Islam.
Keragaman
naskah nusantara dapat kita lihat pada katalog-katalog yang telah ada.
Katalog merupakan alat bibliografis yang memberi akses pada naskah,
namun katalog pun sudah berjumlah ratusan dan tidak diketahui umum
(Chamber Loir :10). Oman Fathurrahman memiliki pengalaman bahwa
data-data atau keterangan yang penting justru ia dapatkan bukan dari
katalog-katalog namun lebih jauh melalui artikel-artikel lepas yang
tersebar di berbagai tempat. Gambaran tersebut menandakan pentingnya
peran ketekunan dan kesabaran yang luar biasa dari seorang peneliti
naskah atau filolog.
Seorang
filolog biasanya mengambil sebuah spesifikasi naskah berbahasa
tertentu, misalnya Jawa, Sunda, Melayu, Bugis dan Arab. Penting
ditekankan di sini bahwa naskah berbahasa Arab sebagaimana tercantum
dalam katalog PNRI berjumlah 764 naskah atau bahkan disinyalir 1000 buah
naskah. Jumlah naskah Arab yang cukup besar juga terdapat di Dayah
Tanoh Abee, Seulimeum, Aceh, berjumlah tidak kurang dari 3.500 teks
keagamaan. Dalam konteks keagamaan (baca: Islam), naskah-naskah di Tanoh
Abee ini layak mendapat perhatian khusus, selain karena semuanya
bersifat agama, ia juga semakin penting karena mencerminkan dasar
pendidikan agama di daerah Aceh pada abad 19.
Di
luar negeri, naskah-naskah Arab terdapat antara lain di Universiteits
Bibliotheek, Leiden, Belanda, yaitu sekitar 5000 buah naskah Arab (lihat
Voorhoeve 1957 & 1980). Selain itu, —meskipun bercampur dengan
bahasa Melayu— terdapat sekitar 700-an naskah Arab di Muzium Islam Kuala
Lumpur, Malaysia.
Tabel
berikut dapat meresume persebaran keberadaan naskah beraksara dan
sekaligus berbahasa Arab (data tambahan berasal dari Henry Cambert-Loir,
1999 : 39-42)..
NO
|
Tempat Koleksi Naskah Berbahasa Arab
|
Jumlah naskah
|
1
|
Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI), Jakarta
|
+ 1000
|
2
|
Dayah Tanoh Abee, Seulimeum, Aceh
|
+ 3.500
|
3
|
UniversiteitsBibliotheek, Leiden, Belanda
|
+ 5.000
|
4
|
Muzium Islam Kuala Lumpur, Malaysia
|
+ 700-an
|
5
|
South Africa Cultural Museum
|
6
|
6
|
American Philosophy Society
|
1
|
Penting
dicatat bahwa jumlah tersebut belum termasuk naskah-naskah milik
pribadi yang banyak tersebar di kalangan masyarakat, yang sayangnya
sering tidak dapat diakses karena dianggap suci (baca: keramat). Itu pun
baru naskah berbahasa Arab, belum lagi naskah-naskah dalam bahasa
daerah Nusantara lainnya, seperti Melayu, Jawa, Sunda, Aceh, Bali,
Batak, Bugis-Makassar, dll. yang tidak jarang juga memuat teks-teks
keagamaan pula (Oman :
www.naskahkuno.blogspot.com)
Di
Jawa Barat misalnya, produksi naskah-naskah keagamaannya berkembang
dengan sangat signifikan. Apalagi di wilayah ini pula, tepatnya di
daerah Pamijahan Tasikmalaya, berkembang sebuah tradisi tarekat, yakni
tarekat Syattariyyah, dengan Shaikh Abdul Muhyi Pamijahan sebagai
“suhu”nya, yang tentu saja telah menghasilkan banyak teks keagamaan,
baik yang berbahasa Arab, Sunda maupun Jawa. Penelitian yang telah
dilakukan oleh Tommy Christomy menunjukkan,
betapa naskah-naskah keagamaan yang ada mampu memberikan gambaran atas
dinamika dan perkembangan tarekat Syatariyyah khususnya, dan Islam lokal
di wilayah ini pada umumnya. Ada hal lain yang juga penting dicermati.
Khusus untuk penelitian naskah-naskah Arab, di UI sendiri pun —yang
telah akrab dengan kajian pernaskahan sejak akhir paruh pertama abad 20—
hingga terakhir diperiksa, hanya tercatat tidak lebih dari 25
penelitian dalam bentuk skripsi, 2 tesis, yaitu Fauzan Muslim (1996),
Kunhu Ma La Budda Minhu karya Ibnu Arabi, dan Fathurahman (1998),
Tanbih Al-Masyi Al-Mansub Ila Tariq Al-Qusyasyi, karya Abdurrauf Singkel. Sedangkan untuk disertasi, hanya satu buah, yaitu Purwadaksi (1992), dengan karyanya,
Ratib Samman dan
Hikayat Syekh Muhammad Samman (Oman :
www.naskahkuno.blogspot.com).
4. Urgensi Filologi pada penggalian khasanah pengetahuan Islam
Dalam tulisannya Naskah dan Penelitian Keagamaan (dalam
Nabilah), Oman Fathurahman memperlihatkan betapa naskah-naskah
Nusantara terutama naskah Melayu memeliki nuansa keislaman yang sangat
kental. Nuansa tersebut terdapat pada naskah-naskah yang memuat
tema-tema seperti fiqih, tafsir, tauhid dan tasawuf (dalam Nabilah
Lubis, 2001 : 2).
Indikasi
yang cukup kuat ini didukung dengan adanya informasi-informasi yang
kita temukan dalam katalog-katalog naskah. Katalog PNRI (Perpustakaan
Nasional Republik Indonesia) misalnya mendaftarkan sekitar + 764 naskah berbahasa Arab ini belum memperhitungkan varian naskah karena hanya melihat
data A 764 sebagai akhir dari halaman daftar tersebut (Behrend, 1998
:21). Koleksi naskah Melayu PNRI juga tergolomg besar yakni sejuimlah + 542 naskah.
Kita
tentu yakin bahwa khasanah Islam tidak hanya ditulis dalam bahasa Arab
dan Melayu saja melainkan juga dalam bahasa-bahasa Nusantara lainnya
seperti bahasa Jawa, Sunda, Bugis dan lain sebagainya. Hal ini di satu
sisi menandakan betapa intensnya penyebaran Islam di kawasan Nusantara
dan di sisi yang lain mengindikasikan betapa luas dan kayanya materi
naskah kita.
Beberapa
karangan ilmiah seperti tesis dan disertasi telah banyak mengungkap
kekayaan nilai-nilai Islami. Satu contoh disertasi yang cukup menarik
menurut saya, adalah karya Fadlil Munawar Manshur berjudul Kasidah Burdah Al-Bushiry dan Polpularitasnya dalam berbagai Tradisi; Suntingan Teks, Terjemahan, dan Telaah Resepsi. Disertasi
yang dipertahankan Fadlil pada awal 2007 ini menggambarkan betapa karya
sastra yang asalnya dari Arab mendapat bentuk atau sambutan yang
beragam dari berbagai tradisi dunia di lima benua dan khususnya di
Indonesia dalam tradisi Jawa, Sunda dan Melayu/Indonesia (Fadlil, 2007 :
4, 44 dan 45). Salah satu butir kegunaan penelitiannya adalah untuk
meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap ajaran-ajaran agama,
khususnya tasawuf, yang tertuang dalam naskah-naskah keagamaan yang
bercorak tasawuf (lihat butir iv, Fadlil, 2007 : 8).
Sinyalemen
yang mengarah pada berlimpahnya tulisan-tulisan yang bercorak keagamaan
ini dikuatkan dengan adanya kenyataan luasnya pengaruh Islam di
Nusantara. Implikasinya tentu kita dapat membayangkan adanya
kegiatan-kegiatan yang intens pada masa lalu dalam hal penyebaran
paham-paham keagamaan.
Belum
lagi adanya polemik di sekitar para ahli keagamaan yang memicu
pertikaian paham dan pada gilirannya penggunaan motif kekerasan
(pemaksaan) dalam melegitimasi hegemoni paham seseorang terhadap yang
lain. Masih segar dalam ingatan kita polemic antara Hamzah Fansuri dan
Nuruddin Arraniri yang berakhir dengan pembakaran karya-karya tokoh yang
pertama oleh pengikut Arraniri.
Dalam
hal naskah-naskah keagamaan, sebagaimana dinyatakan Oman, tampak bahwa
jumlah naskahnya kelihatan lebih menonjol, terutama karena terkait
dengan proses islamisasi di Indonesia yang banyak melibatkan para ulama
produktif di zamannya. Data-data yang dijumpai umumnya memberi
penjelasan bahwa naskah-naskah keagamaan tersebut ditulis oleh para
ulama terutama dalam konteks transmisi keilmuan Islam, baik transmisi
yang terjadi antara ulama Melayu-Nusantara, di mana Indonesia termasuk
di dalamnya, dengan para ulama Timur Tengah, maupun antarulama Indonesia
itu dengan murid-muridnya di berbagai wilayah.
Dua
pola transmisi keilmuan yang terjadi di wilayah Indonesia tersebut pada
gilirannya membentuk pula dua kelompok bahasa naskah: pertama
naskah-naskah yang ditulis dalam bahasa Arab; dan yang kedua
naskah-naskah yang ditulis dalam bahasa-bahasa daerah. Dalam
perkembangannya, jumlah naskah tersebut kemudian semakin membengkak
dengan adanya tradisi penyalinan naskah dari waktu ke waktu, baik yang
dilakukan oleh murid-murid untuk kepentingan belajar, maupun yang
dilakukan oleh “tukang-tukang salin” untuk kepentingan komersil (Oman : www.naskahkuno.blogspot.com)
. Singkatnya, pola transmisi berlangsung dengan dua orientasi, didaktis di satu sisi dan komersial di sisi lainnya.
Berkenaan
dengan mendesaknya penggalakan kajian filologis ini dapat dikaitkan
terutama mengingat kondisi naskah sendiri yang berbahan dasar kertas
dari beberapa abad yang lalu. Bisa dibayangkan betapa lapuknya bahan
tersebut padahal upaya menggali kandungannya belum banyak dilakukan. Di
samping itu masih banyak naskah yang berada di tangan perorangan yang
biasanya memperoleh naskah tersebut secara turun temurun. Mereka
biasanya menggunakan cara tradisional dalam melakukan pelestarian. Hal
ini cukup riskan mengingat tidak ada jaminan batas waktu kapan upaya
pelestarian dapat bertahan apalagi bila kita kaitkan dengan bencana
Tsunami di Aceh 26 Desember 2004 lalu yang melenyapkan sejumlah besar
naskah kita.
Upaya
penyerahan naskah-naskah individual dapat menjadi solusi yang bijak
sebagaimana telah dilakukan Abdurrahman Wahid pada 1993 yang lalu ketika
menyerahkan sejumlah naskah yang dimiliki keluarganya. Naskah tersebut
terdiri dari 67 naskah berasal darialam pesantren Jawa Timuran sekitar
abad ke-18 sampai ke-20, ditulis dengan aksara Arabdi atas kertas
gendhong atau tela, berbahasa Arab dan biasanya diselingi catatan antar
alinea dalam bahasa Jawa Pegon (T.E. Behrend, 1998 : xvi).
Paling
tidak di tangan pemerintah melalui PNRI, naskah-naskah tersebut
mendapat perawatan yang lebih baik di samping kemampuan pemerintah
melalui sumber dananya mengupayakan pemikrofilman naskah-naskah
tersebut.
5. Peluang PTAI
Bagi
PTAI (baca : Perguruan Tinggi Agama Islam baik Negeri maupun swasta)
fakta-fakta yang telah saya uraikan di atas tentu menjadi semacam
peluang dan sekaligus tantangan. Bahkan tidak berlebihan kalau saya
perkirakan celah ini sebagai alternatif pengembangan keahlian mahasiswa
PTAI yang nota bene memiliki kapasitas yang cukup baik dari sisi
penguasaan Bahasa Arab dan pengetahuan Islam yang lebih luas ketimbang
mahasiswa dari PTU (baca : Perguruan Tinggi Umum).
Mata
Kuliah bahasa Arab di PTAI paling tidak diberikan selama dua semester
dan bagi mahasiswa Fakultas Adab terkadang mencapai tiga semester. Bekal
tersebut menurut saya sangat cukup terlebih jika input mahasiswa PTAI
sudah memiliki dasar bahasa Arab dan pengetahuan Islam di tingkat
sekolah Menengah baik Madrasah Aliyah maupun Pondok Pesantren.
Penting
disebut pada kesempatan ini bahwa program studi atau konsentrasi
filologi di Perguruan Tinggi Umum biasanya terdapat pada Fakultas Sastra
atau Fakultas Ilmu Budaya hal mana baru bisa diterapkan di PTAI
setingkat UIN dan IAIN yang juga memiliki Fakultas Adab (sastra). Pada
dua lembaga terakhir mata kuliah filologi biasanya diberikan pada
mahasiswa semester VI dengan bobot 3 SKS. Bobot 3 SKS ini jelas sangat
jauh dari cukup mengingat luasnya materi dan bahan yang seharusnya dapat
dikuasi mahasiswa.
Idealnya
matakuliah filologi diberikan minimal dua semester dengan perincian
satu semester digunakan sebagai penghantar teori sementara semester
berikutnya lebih ditekankan filologi sebagaimana dalam praktek
penelitian baik berupa penganalisaan tesis atau disertasi yang
menggunakan naskah sebagai obyeknya.
Senada
dengan uraian di atas, Oman Fathurahman secara eksplisit menyebut dua
keunggulan PTAI yang tidak dimiliki kalangan akademisi lainnya
sebagaimana uraiannya berikut ini:
…Universitas
Islam Negeri (UIN), Institut Agama Islam Negeri (IAIN), dan perguruan
tinggi Islam lainnya, tampaknya harus mengambil porsi yang lebih besar
(pen. : dalam kajian filologi), karena setidaknya dua alasan : Pertama,
UIN/IAIN memiliki SDM yang kuat dalam bidang keislaman, termasuk di
dalamnya penguasaan atas bahasa yang banyak digunakan dalam naskah,
yakni bahasa Arab. Apalagi —seperti telah dikemukakan— berbagai naskah
Melayu pun umumnya ditulis dengan aksara Arab (tulisan Jawi), sehingga
penguasaan atas aksara dan bahasa tersebut menjadi sangat signifikan.
Sejauh ini, minimnya penguasaan para filolog —yang umumnya berlatar
belakang pendidikan umum— terhadap bahasa Arab seringkali menjadi faktor
penghambat dilakukannya penelitian atas naskah-naskah keagamaan
tersebut, sehingga tidak mengherankan jika naskah-naskah tersebut,
khususnya yang berbahasa Arab, sejauh ini lebih banyak “ditelantarkan”.
Kedua, secara keilmuan, civitas akademika UIN/IAIN sangat berkepentingan
dengan data-data yang terekam dalam naskah-naskah keagamaan tersebut.
Sehingga, memelihara dan memanfaatkannya sebagai rujukan keilmuan, pada
gilirannya akan memperkuat basis IAIN sendiri sebagai sebuah institusi
pendidikan yang concern dengan bidang-bidang ilmu keislaman. Selain itu,
kemudahan akses terhadap naskah-naskah tersebut juga diharapkan dapat
membantu komunitas UIN/IAIN untuk mendapatkan pemahaman yang lebih luas
tentang Islam (broader understanding of Islam), khususnya yang
berkembang di wilayah Melayu-Indonesia ( Oman : www.naskahkuno.blogspot.com).
Pernyataan
tersebut tentu semakin memperkuat keyakinan bahwa penelitian naskah
lama terutama naskah berbahasa Arab dan naskah lain yang memuat aspek
keislaman dapat menjadi area yang sangat menarik bagi akademisi maupun
calon akademisi di lingkungan PTAI.
Dengan
munculnya karya-karya ilmiah yang membahas khasanah Islam melalui
naskah lama semakin membuka jalan kajian filologi berkembang di
Indonesia. Khusus di PTAI, nama-nama seperti Azyumardi Azra, Nabilah
Lubis, dan Oman Fathurrahman dapat dipandang sebagai pelopor kajian
semacam ini. Azra dengan karyanya Jaringan Ulama Timur Tingah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII,. Nabilah melalui disertasinya Zubdat Al-Asrar fi Tahqiq Ba’d Masyarib Al-Akhyar Karya Syekh Yusuf Al-Makasari; yang kemudian terbit dalam buku Syekh Yusuf Al-Makasari; Menyingkap Intisari Segala Rahasia dan Oman Fathurrahman dengan bukunya Tanbîh al-Mâsyî. Menyoal Wahdatul Wujud; Kasus Abdurrauf Singkel. Karya-karya lainnya masih menunggu uluran perhatian kita semua.
6. Kesimpulan
Berdasarkan
uraian yang dikemukakan di muka kiranya kita dapat memahami atau paling
tidak mengenal adanya sebuah disiplin keilmuan yang mungkin saya
ibaratkan sebagai sesuatu yang seakan-akan jauh di mata namun dekat di hati,
yakni disiplin Filologi. Saya sebut demikian guna mengetuk hati para
pembaca untuk sekali lagi merenungkan betapa kajian semisal ini sangat
mungkin dan tentu saja amat penting bagi kita semua namun keberadaannya
masih sayup-sayup terdengar meski sebenarnya bahan mentahnya banyak bersliweran di sekitar kita.
Paling tidak ada beberapa hal yang ingin saya sampaikan sebagai kata akhir namun saya harap berimplikasi menjadi pemakadam jalan bagi aktivitas kita selanjutnya
a. Bidang
kajian filologi sangat penting bagi kontinuitas kesejarahan dan
pengembangan modal sosial bangsa Indonesia secara umum dan umat Islam
secara khusus
b. Masih banyak terdapat naskah-naskah kuna warisan leluhur yang belum mendapat perhatian dan sekaligus merindukan sentuhan para pecintanya
c. Di
antara sekian banyak khasanah yang tersimpan terdapat sekian
ribu_bahkan menurut Nurcholis Madjid_jutaan naskah yang mengandung
muatan keagamaan (Islam)
d. Kenyataan
ini merupakan tantangan sekaligus peluang bagi para akademisi ataupun
mahasiswa PTAI yang tentunya memeliki kapabilitas yang lebih baik
dibanding mereka yang berlatar belakang dari PTU.
e. Dibutuhkan
kerja besar dan terencana dari para pembuat kebijakan di tingkat
Nasional maupun institusi karena kegiatan ini membutuhkan komitmen
bersama.
Akhirnya
saya mengajak para pembaca untuk lebih memperhatikan warisan leluhur
bangsa ini tidak hanya dengan merawat dan menyimpannya sebagai barang azimat,
tetapi lebih dari itu mengembangkannya menjadi sesuatu yang lebih
berguna dan bermanfaat untuk generasi yang akan datang. Semoga ada
manfaatnya.
Daftar Pustaka
Fadlil Munawar Manshur, Kasidah Burdah Al-Bushiry dan Polpularitasnya dalam berbagai Tradisi; Suntingan Teks, Terjemahan, dan Telaah Resepsi, Disertasi Program Doktoral UGM, Jogjakarta, 2007
Henry Chambert –Loir dan Oman Fathurrahman, Khazanah Naskah; Panduan Naskah-naskah Indonesia Sedunia, Ecole Francaise d’Extreme-Orient dan Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1999
Oman Fathurrahman, Naskah dan Penelitian Keagamaan, (dalam Nabilah Lubis, Naskah, Teks dan Metode Penelitian Filologi, Yayasan Media Alo Indonesia, Jakarta, 2001
-------------------------, Khazanah Naskah-naskah Islam Nusantara, www.naskahkuno.blogspot.com
Siti Baroroh Baried dkk., Pengantar Teori Filologi, BPPF, Fak. Sastra UGM, Yogyakarta, 1994
Siti Chamamah Soeratno, Hikayat Iskandar Zulkarnain; Analisis Resepsi, Balai Pustaka, Jakarta, 1991
T.E. Behrend (Ed.), Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara Jilid 4, Yayasan Obor Indonesia-Ecole Francaise D’Extreme Orient, Jakarta, 1998