KEEFEKTIFAN
PENGGUNAAN BAHAN OTENTIK DALAM PEMBELAJARAN ISTIMA’ BAHASA ARAB
Oleh: Fuad
Munajat
Pendahuluan
Istima’ merupakan
salah satu kemahiran bahasa yang seharusnya diberi perhatian, baik oleh
pengajar maupun pembelajar bahasa Arab, di samping kemahiran-kemahiran lainnya
seperti kalam, qiraah, dan kitabah. Sayangnya, kemahiran
istima’ belum mendapat perhatian yang layak terlebih dengan adanya asumsi yang
kerap diyakini dalam pembelajaran bahasa asing, termasuk bahasa Arab, bahwa
istima’ merupakan kemampuan reseptif dan bukan kemampuan produktif. Asumsi
tersebut pada akhirnya menyudutkan pembelajaran istima’ dan mendudukannya
sebagai kemahiran “kelas dua”.
Asumsi di atas
dipertegas dengan adanya kenyataan nilai ujian istima’ (listening) dalam
berbagai ujian atau tes kemahiran bahasa asing selalu menempati urutan terbawah.
Sebenarnya, nilai terendah tersebut tidak saja berlaku bagi istima’ bahasa Arab
tetapi juga berlaku bagi bahasa asing lain seperti bahasa Inggris. Dengan
demikian persoalan yang muncul bukan saja disebabkan sulitnya materi bahasa
Arab tetapi bisa jadi penyajian materi istima yang belum maksimal.
Tulisan ini
mencoba mengutarakan salah satu usulan penyajian varian bahan ajar istima’ yang
hingga kini masih menjadi perbincangan hangat di kalangan pegiat pembelajaran
bahasa asing. Varian tersebut tidak lain adalah bahan otentik atau authentic
materials dalam pembelajaran istima’ bahasa Arab.
Audio
Authentic Materials vs Created Materials
Hingga kini
perdebatan di sekitar keefektifan penggunaan bahan otentik dalam pembelajaran
istima’ masih mengundang perdebatan sengit di antara pengajar, pendidik, atau
pun peneliti pembelajaran bahasa asing. Namun demikian sebelum lebih jauh
diungkap mengenai perbedaan pandangan para ahli terkait penggunaan bahan
otentik dalam pembelajaran istima’, ada baiknya batasan atau definisi mengenai
bahan otentik diketengahkan.
Beberapa ahli
berbeda pandangan mengenai istilah bahan otentik. Di antaranya definisi yang
dikemukakan Richards (2001: 252) “Authentic materials refer to use in
teaching of texts, photographs, video selections, and other teaching resources
that not specially prepared for pedagogigal purposes”, (bahan otentik
mengacu pada penggunaan teks-teks, foto, seleksi video, dan sumber belajar
lainnya yang tidak secara khusus disiapkan untuk tujuan pembelajaran).”
Dalam redaksi
yang lebih ringkas, Bacon dan Finnemann, menyatakan “Authentic materials are
materials produced by and for native speakers of target language”, (bahan
otentik merupakan bahan yang diproduksi oleh dan untuk penutur asli bahasa
target (dalam Sabet dan Mahsefat, 2012: 218). Dalam pembelajaran bahasa Arab,
dengan demikian, bahan ajar dimaksud dibuat oleh dan untuk orang Arab.
Di sisi lain,
bahan non-otentik memiliki beberapa istilah antara lain created materials,
manipulated materials, atau simulated materials. Semua label itu
mengacu pada bahan ajar yang sengaja dibuat untuk kepentingan pembelajaran
bahasa asing.
Terkait bahan
ajar istima’ bahasa Arab, baik bahan otentik maupun bahan non-otentik,
kedua-duanya digunakan dalam pembelajaran bahasa. Namun demikian penggunaan
bahan non-otentik masih mendominasi pembelajaran bahasa Arab. Ini dibuktikan
dengan penggunaan buku-buku dan suplemen istima’ bahasa Arab dalam pembelajaran
bahasa Arab di Indonesia.
Dalam tulisan
terdahulu[1], penulis
telah menjelaskan beberapa bahan ajar bahasa Arab yang memuat kedua ciri baik
bahan otentik maupun bahan non-otentik. Pada tulisan kali ini penulis
memokuskan perhatian pada sejauh mana keefektifan bahan istima’ otentik dalam
pembelajaran istima’.
Keefektifan
Bahan Otentik
Penggunaan
bahan otentik dalam pembelajaran istima’ bahasa Arab mendapat berbagai respons
dari kalangan pembelajar. Di antara mereka ada beberapa pembelajar yang merasa
senang dengan penggunaan bahan otentik dengan alasan bahwa bahan otentik yang
disajikan merupakan bahasa real yang digunakan orang Arab ketika berkomunikasi.
Jumlah mereka yang menyambut positif penggunaan bahan otentik tidak banyak
karena umumnya mereka merupakan bagian minoritas pembelajar yang telah sampai
pada level advance dalam belajar bahasa Arab.
Sebagian besar
pembelajar menilai bahan otentik terlalu sulit karena cepatnya ucapan penutur
asli dalam kondisi nyata. Mereka menilai jika kecepatan ucapan dapat
dilambatkan maka sangat mungkin bahan ini dapat dipahami. Tentu saja pandangan
ini sesuai dengan pandangan Krashen tentang input terpahamkan (comprehensible
input) yang menurutnya
“is an
example of second type of listening materials, also called “simulated authentic
input”. It tends to consist of a simplified code, characterized by slower, more
careful articulation, the more frequent use of known vocabulary items, and
attempts to ensure comprehension via restatements, paraphrases, and the use of
gestures and other nonverbal aids to understanding (Omaggio, 1986: 130).
(Input terpahamkan merupakan sebuah contoh tipe kedua bahan istima’, yang juga
disebut input otentik yang disimulasikan. Tipe ini biasanya terdiri dari bahasa
yang disederhanakan, ditandai dengan artikulasi yang lebih pelan dan hati-hati,
penggunaan kosakata yang lebih dikenal. Di samping itu, tampak adanya upaya
menjamin pemahaman dengan pengungkapan kembali, parafrasa, penggunaan gestur
dan alat-alat non-verbal lainnya untuk pemahaman).
Dalam hal ini
perlu dipahami bahwa kesulitan memahami bahan otentik tidak melulu disebabkan
kecepatan ucapan penutur asli. Sebab lain juga dapat menjadi faktor yang
menghalangi pembelajar istima’ bahasa Arab seperti kurangnya pemajanan
(ekspose) bahan otentik bahasa Arab, pemilihan tema istima’ yang jauh dari
kebutuhan dan minat pembelajar, serta gradasi bahan ajar otentik.
Beberapa sesi
pembelajaran istima’ mengkonfirmasi adanya faktor-faktor tersebut. Pada saat
materi ajar membincangkan tentang tema keagamaan, misalnya, pembelajar mampu
memahami bahan ajar otentik meski ucapan penutur asli cukup cepat. Tema-tema
keagamaan tersebut disajikan dengan berbagai variasi antara lain monolog,
dialog non-interaktif, dan dialog interaktif. Kesemua variasi tersebut disimak
pembelajar dengan baik dan mereka mampu menangkap informasi umum yang
terkandung dalam teks keagamaan tersebut.
Lain halnya
dengan tema di luar keagamaan, seperti tema sejarah, olahraga, politik,
pendidikan, ekonomi, dan lain sebagainya. Tema-tema tersebut dipahami secara
beragam oleh pembelajar sesuai dengan minat mereka. Jika di antara mereka
memiliki minat di bidang sepak bola, misalnya, mereka cenderung mampu memahami
tema tersebut. Demikian halnya dengan tema-tema non-keagamaan lainnya yang
dipahami secara beragam oleh pembelajar sesuai dengan minat mereka masing-masing.
Terkait dengan
gradasi bahan ajar istima’, ada kecenderungan pembelajar memahami bahan ajar
non-otentik terlebih dahulu dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Ini bisa
dipahami mengingat keterbiasaan pembelajar dalam menyimak bahan ajar istima’ membutuhkan
aklimatisasi (pembiasaan) dan bahan ajar non-otentik secara lahiriah memang
didesain untuk kebutuhan tersebut.
Namun
demikian, hal itu tidak berarti bahan otentik selalu disajikan belakangan
ketimbang bahan non-otentik. Bahan otentik dengan pemilihan (seleksi) bahan
yang cermat dapat ditempatkan di awal pembelajaran bahasa asing bahkan pada level pemula sekalipun. Hal ini
sebagaimana kajian-kajian tentang penggunaan bahan otentik dalam pembelajaran
bahasa asing. Seperti kajian Matthew Peacock (1997) yang menyimpulkan adanya
peningkatan signifikan pada perilaku dan motivasi teramati saat bahan otentik
digunakan.
Berdasarkan
dua keterangan di atas terkait gradasi bahan ajar otentik, penulis mengusulkan
penggunaan bahan otentik istima’ bahasa Arab dapat dilakukan secara bergantian
melihat pada kesiapan pembelajar. Pada beberapa kelas tertentu yang kesiapan
menerima pemajanan tergolong tinggi, maka bahan otentik dapat dipajankan
terlebih dahulu dan dilanjutkan dengan bahan non-otentik. Sebaliknya, pada
kelas yang tingkat kesiapannya rendah maka bahan non-otentik seharusnya
disajikan terlebih dahulu. Dengan kata lain, penyajiannya tidak dilihat secara
hirarkis, bahan non-otentik terlebih dahulu, dan dilanjutkan dengan bahan
otentik. Penting dicatat bahwa kedua varian bahan ini bisa bersifat
komplementer di mana pada umumnya bahan otentik diletakkan sebagai suplemen
dari bahan ajar non-otentik.
Sudah saatnya
bahan otentik tidak lagi dilihat sebagai suplemen yang mengakibatkan kurangnya
perhatian terhadap jenis bahan ajar ini. Bahan otentik, jika digunakan secara
cermat dapat menumbuhkan motivasi dalam belajar bahasa Arab karena bahan ajar
seperti ini merupakan bahan ajar yang real dan dihadapi dalam kehidupan orang
Arab sehari-hari. Sebagaimana ungkapan Bacon dan Finnemann (2012: 218) bahwa
bahasa jenis ini merupakan bahasa yang diproduksi oleh dan untuk penutur
aslinya. Oleh karena itu, bahasa jenis ini lebih berterima dengan kebutuhan
komunikasi pembelajar dalam konteks komunikasi sehari-hari.
Kesimpulan
Berdasarkan
paparan singkat di atas, penulis menggarisbawahi beberapa hal. Pertama,
keberadaan bahan otentik istima’ baik dalam bentuk rekaman kaset, video, atau
bentuk lainnya memiliki signifikansi terutama dalam menambah khazanah bahan
ajar istima’ bahasa Arab. Kedua, keberhasilan penggunaan bahan istima’
otentik juga ditentukan variabel lain seperti tema yang disajikan, kecepatan
suara penutur, dan gradasi bahan ajar istima’ otentik. Ketiga, perlu
upaya pengarusutamaan penggunaan bahan otentik dan pergeseran paradigma dalam
memandangnya dari hanya sekedar “suplemen” menjadi “bagian inti” pembelajaran
bahasa itu sendiri.
Referensi
Munajat, Fuad,
“Input Bahasa Dalam Pembelajaran Maharatul Kalam,” Vernacular, Vol. III,
2013
Omaggio, Alice C., Teaching
Language in Context: Proficiency-Oriented Instruction, Heinle & Heinle
Publishers, Inc., Boston, Massachusetts, USA, 1986
Peacock, Matthew, “The
Effect of Authentic Materials on The Motivation of EFL Learners”, ELT
Journal, Vol. 51, No. 2, Oxford University Press, 1997
Richards, Jack
C., Curriculum Development in Language Teaching, (Cambridge University
Press, 2001)
Sabet, Masoud
Khalili & Hamed Mahsefat, “The Impact of Authentic Listening Materials on
Elementary EFL Learners’ Listening Skills”, International Journal of Applied
Linguistics & English Literature, Vol. 1, No. 4, 2012
[1]
Lihat tulisan penulis “Input Bahasa Dalam Pembelajaran Maharatul Kalam”, Vernacular
edisi sebelumnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar